Sahur Mencekam di Rumah Bung Karno, Ketika Sekelompok Pemuda Tiba-Tiba Memboyongnya Paksa Jelang Proklamasi

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Editor

Presiden Soekarno diculik waktu sedang sahur.
Presiden Soekarno diculik waktu sedang sahur.

Intisari-online.com - Tanggal 16 Agustus 1945 adalah hari yang tidak akan pernah dilupakan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta.

Pada hari itu, mereka diculik oleh sekelompok pemuda yang mendesak agar kemerdekaan Indonesia segera diproklamasikan tanpa campur tangan Jepang.

Penculikan itu berlangsung saat mereka tengah menikmati santapan sahur di rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta.

Penculikan Soekarno dan Hatta tidak terlepas dari situasi politik yang memanas menjelang akhir penjajahan Jepang di Indonesia.

Pada 15 Agustus 1945, Jepang secara resmi menyerah kepada sekutu setelah dua kota Hiroshima dan Nagasaki dihancurkan oleh bom atom Amerika Serikat.

Namun, Jepang belum menyerahkan kekuasaannya di Indonesia kepada sekutu.

Jepang masih berusaha mengendalikan situasi dengan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang diketuai oleh Soekarno.

Para pemuda yang tergabung dalam organisasi-organisasi pergerakan nasional seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Pemuda Republik Indonesia (PRI), Barisan Pelopor, dan lain-lain tidak puas dengan langkah Jepang tersebut.

Mereka menganggap bahwa kemerdekaan Indonesia harus diperjuangkan oleh rakyat Indonesia sendiri tanpa campur tangan Jepang.

Mereka juga khawatir bahwa jika kemerdekaan Indonesia tidak segera diproklamasikan, maka sekutu akan datang dan menjajah Indonesia kembali.

Oleh karena itu, pada malam 15 Agustus 1945, para pemuda mengadakan rapat rahasia di rumah Laksamana Maeda, seorang perwira tinggi angkatan laut Jepang yang bersimpati kepada perjuangan Indonesia.

Baca Juga: Peran Pedagang Islam dalam Menyebarkan Tradisi Sahur di Kerajaan Islam Nusantara

Dalam rapat itu, mereka memutuskan untuk menculik Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, sebuah desa di Karawang, Jawa Barat.

Tujuannya adalah untuk memaksa Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa melibatkan PPKI atau Jepang.

Pada dini hari 16 Agustus 1945, sekitar pukul 03.00 WIB, dua mobil Ford berhenti di depan rumah Bung Karno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56.

Dari mobil pertama turun Wikana dan Singgih yang langsung masuk ke rumah Bung Karno.

Mereka mengatakan bahwa Jakarta sedang tidak aman karena akan terjadi pemberontakan bersenjata oleh tentara PETA dan Heiho (tentara sukarela Indonesia yang dibentuk oleh Jepang).

Mereka meminta Bung Karno untuk ikut dengan mereka ke tempat yang lebih aman.

Bung Karno yang saat itu sedang makan sahur bersama istri dan anaknya, Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra, merasa curiga dengan alasan para pemuda.

Namun, ia tidak punya pilihan selain mengikuti mereka. Ia juga membawa serta Fatmawati dan Guntur yang masih bayi ke dalam mobil.

Dari mobil kedua turun Chaerul Saleh dan Sukarni.

Soekarno dan Hatta tidak mengetahui tujuan sebenarnya dari penculikan itu.

Mereka hanya diberitahu bahwa Jakarta sedang tidak aman dan mereka harus pergi ke tempat yang lebih aman.

Baca Juga: Gunakan Bedug Hingga Terompet, Ini 5 Tradisi Unik Sahur dari Berbagai Negara di Dunia

Mereka pun mengikuti para pemuda dengan membawa Fatmawati dan Guntur yang masih bayi.

Di perjalanan, mereka baru mengetahui bahwa mereka dibawa ke Rengasdengklok, sebuah desa di Karawang, Jawa Barat.

Di sana, mereka ditempatkan di sebuah gubuk tua di pinggir kali dekat sawah yang tidak layak huni.

Soekarno merasa jengkel dan tersinggung dengan perlakuan para pemuda. Ia menganggap bahwa para pemuda tidak menghormati dirinya sebagai pemimpin bangsa.

Sementara itu, Hatta merasa khawatir dengan keselamatan mereka. Ia takut bahwa Jepang akan mengetahui penculikan itu dan akan menyerang Rengasdengklok.

Ia juga khawatir bahwa sekutu akan datang lebih cepat dan mengambil alih Indonesia sebelum kemerdekaan diproklamasikan.

Namun, para pemuda tetap bersikeras agar Soekarno dan Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanpa melibatkan PPKI atau Jepang.

Mereka mengatakan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak rakyat Indonesia sendiri, tidak tergantung dari pihak lain.

Mereka juga mengatakan bahwa Jepang sudah kalah perang dan tidak berdaya lagi.

Soekarno dan Hatta tetap berpendapat bahwa kemerdekaan Indonesia harus dilakukan dengan cara yang damai dan terorganisir.

Mereka ingin membicarakan hal ini dengan anggota PPKI terlebih dahulu untuk mendapatkan dukungan dari seluruh elemen bangsa.

Mereka juga ingin memastikan bahwa Jepang tidak akan menghalangi atau mengganggu proklamasi kemerdekaan.

Artikel Terkait