Namun Prabu Brawijaya menolak untuk masuk Islam dan tetap mempertahankan agama Hindu-Buddha.
Salah satu cara Wali Songo untuk membujuk Prabu Brawijaya adalah dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi istrinya.
Putri Campa adalah putri dari Raja Campa yang merupakan kerajaan bawahan Majapahit di wilayah Indocina.
Perkawinan ini menghasilkan beberapa anak, salah satunya adalah Lembu Kanigoro atau Bathara Katong.
Perkawinan Prabu Brawijaya dengan Putri Campa menimbulkan reaksi protes dari elit istana Majapahit yang tidak menyukai pengaruh Islam.
Salah satu punggawa Majapahit yang menentang perkawinan ini adalah Pujangga Anom Ketut Suryongalam yang kemudian dikenal sebagai Ki Ageng Kutu.
Ki Ageng Kutu menciptakan sebuah seni Barongan yang kemudian disebut Reog sebagai bentuk kritik terhadap Prabu Brawijaya yang ditundukkan oleh rayuan seorang perempuan asing.
Ki Ageng Kutu kemudian meninggalkan Majapahit dan pergi ke wilayah Wengker atau Ponorogo.
Di sana ia membangun basis kekuatan dan berusaha memperluas pengaruhnya dengan cara mengajak masyarakat setempat untuk mengikuti ajaran Hindu-Buddha dan menolak Islam.
Ki Ageng Kutu juga menciptakan kesenian Reog sebagai media propaganda dan hiburan bagi rakyatnya.
Keberadaan Ki Ageng Kutu di Ponorogo menjadi ancaman bagi kekuasaan Majapahit dan Kesultanan Demak yang berusaha mengislamkan wilayah tersebut.
Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo, bersama muridnya Kiai Muslim atau Ki Ageng Mirah mencoba melakukan investigasi terhadap keadaan Ponorogo dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di sana.
Penulis | : | Moh. Habib Asyhad |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR