Ogoh-ogoh biasanya berwujud raksasa yang menakutkan, namun juga bisa mengambil bentuk makhluk-makhluk lain seperti naga, gajah, widyadari atau tokoh-tokoh terkenal.
Tradisi ogoh-ogoh berasal dari tahun 1983, ketika wujud Bhuta Kala mulai dibuat berkaitan dengan ritual Nyepi di Bali.
Budaya ini semakin meluas saat ogoh-ogoh diikutkan dalam Pesta Kesenian Bali ke XII.
Ogoh-ogoh sebenarnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi, namun dijadikan sebagai pelengkap kemeriahan upacara ngerupuk atau pengerupukan.
Pawai ogoh-ogoh dilakukan pada malam sebelum Hari Raya Nyepi dengan diiringi irama gamelan khas Bali yang disebut bleganjur.
Sebelum memulai pawai, para peserta upacara biasanya minum-minuman keras tradisional atau arak.
Ogoh-ogoh diarak menuju sema atau tempat persemayaman umat Hindu sebelum dibakar dan pada saat pembakaran mayat.
Proses pembakaran ogah-oogh melambangkan pengusiran hal-hal negatif dari diri manusia dan lingkungan.
Selain itu, ogoh-ogoh juga menjadi ajang kreativitas para pemuda yang mengambil berbagai cerita sebagai tema patungnya. Beberapa cerita yang diangkat dalam ogah-oogh antara lain:
Cerita tentang Dewa Wisnu dan Dewa Brahma yang berselisih tentang siapa pencipta alam semesta.
Mereka kemudian bertemu dengan Dewa Siwa dalam wujud batang api tanpa ujung. Dewa Siwa memberikan tantangan kepada mereka untuk mencari ujung batang api tersebut.
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Afif Khoirul M |
KOMENTAR