Alasannya karena masyarakat di kota ini sangat taat kepada kepercayaan lamanya dan sulit untuk diubah.
Meskipun dia bukanlah penduduk asli Kudus, namun berkat kepiawaiannya, dia berhasil menjadi tokoh sentral di Kudus.
Ada beberapa hal yang dilakukan Sunan Kudus untuk mengembangkan ajaran toleransi beragama antara umat Islam dengan umat Hindu-Buddha.
Misalnya, dia melarang menyembelih sapi, hewan yang dianggap keramat dan suci bagi umat Hindu, saat Hari Raya Idul Adha.
Tujuannya untuk menghormati agama Hindu.
Dia juga menggunakan cara yang unik, yaitu membangun pancuran wudhu di Masjid Menara Kudus yang dibangunnya dengan jumlah 8 pancuran, dan di setiap atas pancuran diletakkan arca.
Hal itu dilakukan agar umat Buddha yang sebelumnya tidak tertarik kepada agama Islam pun menjadi terdorong hatinya untuk mempelajari agama Islam.
Sunan Kudus memahami bahwa ada 8 ajaran pada agama Budha yang dikenal dengan Asta Sanghika Marga.
Inilah yang kemudian menjadi simbol jumlah 8 yang dia bangun.
Strategi selanjutnya adalah dia mengubah adat istiadat dan memodifikasinya sesuai dengan nilai-nilai dan ajaran Islam.
Ya, Sunan Kudus tidak serta merta menentang masyarakat yang sering menabur bunga di jalan, meletakkan sesajen di kuburan, dan adat-adat lain yang dianggap melenceng dari ajaran Islam dan mengandung unsur syirik.
Baca Juga: Moh Limo, Ajaran Dakwah Sunan Ampel pada Masa Kerajaan Majapahit
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR