"Wajan itu, seingat saya, sejak saya masih kecil ya begitu," kata Sishe. Kakak perempuan Sishe, kata dia, bahkan masih ingat bagaimana turut mengipasi ketika candu sedang dilelehkan oleh pelanggan.
Cerita tentang keberadaan rumah candu itu diperkuat oleh Ita Fatia Nadia, peserta Langlang lainnya. "Dulu kalau orang mau beli candu ya di sini," katanya. Namun, rumah yang kini didiami Sishe ini bukanlah rumah candu yang terbesar.
Selain kisah-kisah yang bisa dituturkan Sishe, OKS juga meninggalkan beberapa memorabilia; diantaranya adalah mesin pres ban yang menjadi jalan masuk kisah tentang legasi becak OKS. Bila tak ada aral melintang, ke depan rumah OKS juga akan dijadikan museum.
Tak hanya di rumah OKS, Langlang Ketandan juga singgah di beberapa tempat.
Misalnya, di titik awal ekskursi, yaitu gapura Ketandan. Agni mengajak para pelawat Ketandan meniliknya. Berbekal beberapa foto di tangan, Agni menjelaskan tentang muasal gapura ini.
Kata dia, meski gapura ini terletak muka permukiman Tionghoa, tapi bukan bergaya murni Tiongkok. Tetapi, ada campuran dari ragam arsitektur, salah satunya India. Jenis gapura ini bisa ditemukan nyaris di seluruh kawasan Asia dengan gaya lokal masing-masing.
Usai dari gapura Ketandan, pelawat Ketandan diajak menuju simpang empat yang tak jauh dari gapura Ketandan. Persimpangan ini juga merupakan titik tengah kawasan Kawasan yang membagi wilayah ini berdasar mata angin. Di pemberhentian kali ini, peserta disuguhi ragam peta lama kawasan Ketandan yang telah disediakan oleh Agni.
Salah satunya Agni mengajak peserta mengidentifikasi bangunan. Menurut Agni, permukiman Tionghoa di Asia Tenggara memiliki kekhasan dengan keberadaan rumah-toko (ruko). Ruko ini memiliki ragam gaya, dan bisa diselisik melalui identifikasi bangunannya. Ruko, kata Agni, adalah perpaduan antara bangunan untuk usaha dan privat.
Aktivitas ekonomi, seperti membuka toko kelontong biasa terjadi di bagian depan ruko. Tapi, makin ke belakang ruangan kian privat. Tak pelak, bentuk ruko memanjang ke belakang.
Di Ketandan, juga terdapat seruas gang yang menunjukkan bagaimana waktu telah meleburkan persoalan etnis. Lokasi itu kini terletak Ketandan Wetan, tepatnya di Gang M. Said. Menurut kisah Agni, gang ini merekam realitas kebudayaan lainnya masyarakat Ketandan. Pada 1940-an, dulu di gang ini terdapat banyak para imigran dari Banjar. "Mereka jadi artisan emas," kata Agni.
Kisah Agni, beberapa warga Tionghoa sepuh mengatakan, dulu ketika senja tiba orang-orang Banjar kerap terdengar melantunkan ayat suci al-Quran. Mereka mengajari anak-anak mereka belajar membaca kitab suci. Hal itu menyebabkan orang-orang Tionghoa di sini akrab dengan lantunan al-Quran. "Tetapi kini tidak lagi," kata Agni. Mereka lebih memilih mengirim anak-anaknya ke TPA.
Baca Juga: Kisah Keraton Surakarta, Tempat Bersejarah di Solo yang Dibangun Akibat Geger Pecinan
Penulis | : | Aris Setiawan Rimbawana |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR