Intisari-Online.com- Peruntukkannya sejak awal sebagai permukiman membuat kepadatan bangunan di kawasan Pecinan Semarang tergolong tinggi. Rumah atau bangunan saling berdempet erat. “Dulu ‘kan di sini semacam kamp Pecinan, ada bentengnya. Makanya pengaturan rumah-rumah di Pecinan itu ungkur-ungkuran, seperti dipaksakan,” jelas Harjanto Halim,Ketua Komunitas Pecinan Semarang untuk Wisata (Kopi Semawis).Arsitektur rumah di Pecinan Semarang ternyata punya keunikan tersendiri. Ia merupakan perpaduan antara arsitektur Cina, Batavia, dan lokal. Kebanyakan rumah terdiri atas dua lantai. Rumah-rumah tersebut mempunyai teras di depan. Pintu dan jendela besar-besar dengan aneka langgam. Ada yang Cina, ada yang Barat. Untuk gaya Cina, pintu dan jendelanya berjeruji kayu tebal dan berukir. Sementara gaya Barat menyajikan panel kaca yang dihiasi ornamen dari terali besi.Sayangnya, bangunan kuno berarsitektur Cina bisa dibilang sudah terkikis. Kini bisa dihitung dalam hitungan jari. Rumah-rumah dengan desain ala negera Tirai Bambu tergantikan dengan rumah bergaya modern. Menurut pengakuan pemilik toko "Cahaya Bintang" di Gang Warung, Richard (59), perubahan tersebut terjadi pada masa Orde Baru. Cukup banyak bangunan kuno bergaya Cina dirobohkan dan dibangun dengan bentuk yang modern.“Ciri arsitektur yang kuat masih bisa ditemui di Gang Gambiran, Gang Besen, dan Gang Tengah,” kata Harjanto. Gang Warung dan Gang Pinggir yang dulunya merupakan jalan utama telah berganti rupa akibat pelebaran jalan. Pemilik rumah pun terpaksa membongkar bagian depan rumahnya. Walhasil, sedikit demi sedikit tapi pasti, rumah kuno bernuansa Cina semakin terkikis. “Dulu ‘kan, katanya untuk melebarkan jalan. Tapi sebetulnya untuk menghilangkan kebudayaan Pecinan,” tambah Harjanto. Sayang sekali.