Langlang ke Ketandan, Pecinan di Tanah Sultan yang Acap Terlewat

Aris Setiawan Rimbawana
,
Ade S

Tim Redaksi

Para peserta Langlang Ketandan sesi I berfoto bersama di rumah Oong Khoe Sioe yang kini didiami oleh Sishe Eliyawati dan keluarga.
Para peserta Langlang Ketandan sesi I berfoto bersama di rumah Oong Khoe Sioe yang kini didiami oleh Sishe Eliyawati dan keluarga.

Intisari-Online.com -Bergaun hitam berhias motif bunga, Sishe Eliyawati muncul dari balik pintu ruangan berkelir putih, krem, dan hijau itu, Sabtu (28/1). "Selamat datang," sapa Sishe kepada para 12 peserta Langlang Ketandan.

Di pojok ruangan yang tak begitu luas itu, telah tersedia beberapa tangkup roti gandum berisi selai pandan srikaya dan juga wedang uwuh —minuman hangat yang terdiri dari campuran aneka rempah. Semua kudapan itu khusus Sishe bikin untuk peserta.

Peserta yang dimaksud adalah para pendaftatar program Langlang Ketandan,sebuah ekskursi yang digagas oleh Intisari, Jaladwara, Interpid, Pejalan Bijak, Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA), Woles, dan Walkingwalking yang berlangsung pada 28 Januari 2023 lalu.

Program ini bertujuan mengenalkan kembali kawasan Pecinan di Yogyakarta yang kerap terlewat. Padahal, Ketandan kaya dengan narasi sejarah dan budaya.

Salah satu kekayaan narasi itu adalah seperti yang disampaikan Sishe. Ia berkisah berkait ingatan masa kecilnya tentang becak sang Engkong.

Sishe adalah salah satu cucu Ong Kioe Sioe (OKS), yang dulusohor sebagai pemilik usaha becak di Ketandan. Dari OKS, kemudian berdiri beberapa pengusaha becak lainnya di Ketandan.

"Dulu engkong kalau ngerakit becak ya di sini," katanya sembari menunjuk ke arah lantai.

Sementara kata Agni Malagina, peneliti budaya Tionghoa FIB UI sekaligus salah satu pemandu Langlang, becak-becak ini juga berkontribusi ketika masa Revolusi sebagai moda transportasi.

Apalagi, becak Yogyakarta berbeda dengan becak daerah lain, yakni bagian slebornya menggembung. Boleh jadi, slebor itu digunakan untuk menyembunyikan logistik para tentara. Sayang, hingga kini sulit menemukan penelitian berkait becak pada masa Revolusi.

Rumah yang kini didiami Sishe ini dulu sempat berjuluk Gedong Duwur (rumah tinggi) karena pondasinya memang lebih tinggi dari bangunan di kanan–kirinya. Kata dia, rumah ini juga pernah disebut rumah kongsi, sebab berfungsi menampung para imigran Tiongkok.

Di rumah OKS, diskusi hangat berlangsung tatkala Sishe berkisah tentang candu. Memang, rumah ini dulu juga sempat dipakai sebagai rumah candu. Ada satu peninggalan OKS yang terawat hingga kini, yakni wajan kecil yang gagangnya dibalut dengan semacam rafia untuk melelehkan candu.

Baca Juga: Langlang Ketandan, Melawat Pecinan Yogyakarta yang Kerap Terlewat

"Wajan itu, seingat saya, sejak saya masih kecil ya begitu," kata Sishe. Kakak perempuan Sishe, kata dia, bahkan masih ingat bagaimana turut mengipasi ketika candu sedang dilelehkan oleh pelanggan.

Cerita tentang keberadaan rumah candu itu diperkuat oleh Ita Fatia Nadia, peserta Langlang lainnya. "Dulu kalau orang mau beli candu ya di sini," katanya. Namun, rumah yang kini didiami Sishe ini bukanlah rumah candu yang terbesar.

Selain kisah-kisah yang bisa dituturkan Sishe, OKS juga meninggalkan beberapa memorabilia; diantaranya adalah mesin pres ban yang menjadi jalan masuk kisah tentang legasi becak OKS. Bila tak ada aral melintang, ke depan rumah OKS juga akan dijadikan museum.

Tak hanya di rumah OKS, Langlang Ketandan juga singgah di beberapa tempat.

Misalnya, di titik awal ekskursi, yaitu gapura Ketandan. Agni mengajak para pelawat Ketandan meniliknya. Berbekal beberapa foto di tangan, Agni menjelaskan tentang muasal gapura ini.

Kata dia, meski gapura ini terletak muka permukiman Tionghoa, tapi bukan bergaya murni Tiongkok. Tetapi, ada campuran dari ragam arsitektur, salah satunya India. Jenis gapura ini bisa ditemukan nyaris di seluruh kawasan Asia dengan gaya lokal masing-masing.

Usai dari gapura Ketandan, pelawat Ketandan diajak menuju simpang empat yang tak jauh dari gapura Ketandan. Persimpangan ini juga merupakan titik tengah kawasan Kawasan yang membagi wilayah ini berdasar mata angin. Di pemberhentian kali ini, peserta disuguhi ragam peta lama kawasan Ketandan yang telah disediakan oleh Agni.

Salah satunya Agni mengajak peserta mengidentifikasi bangunan. Menurut Agni, permukiman Tionghoa di Asia Tenggara memiliki kekhasan dengan keberadaan rumah-toko (ruko). Ruko ini memiliki ragam gaya, dan bisa diselisik melalui identifikasi bangunannya. Ruko, kata Agni, adalah perpaduan antara bangunan untuk usaha dan privat.

Aktivitas ekonomi, seperti membuka toko kelontong biasa terjadi di bagian depan ruko. Tapi, makin ke belakang ruangan kian privat. Tak pelak, bentuk ruko memanjang ke belakang.

Di Ketandan, juga terdapat seruas gang yang menunjukkan bagaimana waktu telah meleburkan persoalan etnis. Lokasi itu kini terletak Ketandan Wetan, tepatnya di Gang M. Said. Menurut kisah Agni, gang ini merekam realitas kebudayaan lainnya masyarakat Ketandan. Pada 1940-an, dulu di gang ini terdapat banyak para imigran dari Banjar. "Mereka jadi artisan emas," kata Agni.

Kisah Agni, beberapa warga Tionghoa sepuh mengatakan, dulu ketika senja tiba orang-orang Banjar kerap terdengar melantunkan ayat suci al-Quran. Mereka mengajari anak-anak mereka belajar membaca kitab suci. Hal itu menyebabkan orang-orang Tionghoa di sini akrab dengan lantunan al-Quran. "Tetapi kini tidak lagi," kata Agni. Mereka lebih memilih mengirim anak-anaknya ke TPA.

Baca Juga: Kisah Keraton Surakarta, Tempat Bersejarah di Solo yang Dibangun Akibat Geger Pecinan

Di gang ini pula Agni mengenalkan para peserta dengan pabrik mi di Ketandan yang kini dikelola oleh Asep dan Bagus. Keduanya adalah keturunan Tan Hie Geuw yang datang sebelum Indonesia merdeka. Menurut kisah Agni, Tan pernah jadi juru masak Jepang.

Usai Jepang pergi, Tan juga sempat menjadi juru masak tentara Republik semasa serangan umum 1 Maret. Sayang, ketika pelawat Ketandan tiba, pabrik mie itu telah jam operasi. Mie yang tersisa pun tinggal beberapa kilogram saja.

Setelah itu, pelawat Ketanda dibawa melintas ke batas utara Ketandan, yaitu Jalan Suryatmajan –atau jalanan depan kantor gubernur (Kepatihan) Yogyakarta dan menuju titik akhir ekskursi, di Toko Roti Djoen. Di sepanjang jalan menuju Toko Roti Djoen, Agni menerangkan beberapa bangunan yang dulu pernah dipakai sebagai usaha becak dan candu.

Di Toko Roti Djoen peserta disuguh kisah perjalanan toko roti yang berdiri sejak 1935 itu. Peserta juga disilakan untuk melihat dapur pembuatan roti itu. Sayang, ketika para pelawat Ketandna tiba, hari itu tak sedang membakar roti.

Usai disilakan oleh Agni, para peserta yang telah tiga jam berjalan itu pun segera memborong ragam roti di toko Djoen. Rasa dan kisah pun sama-sama dicecap.

Salah satu peserta Langlang, Vivien Kristanto, yang pagi itu rela datang jauh-jauh dari Karanganyar, Kebumen, Jawa Tengah pun merasa mendapatkan banyak hal usai mengikuti Langlang.

“Tak sekedar mengungkap kisah-kisah masa lalu dengan begitu hidup dan mengesankan, tapi jalan-jalan ini sungguh menawarkan dahaga kebutuhan untuk berinteraksi, bertukar pengetahuan, bercanda, tertawa, dan berjejaring dengan teman-teman baru,” kata perempuan yang mengikuti Langlang sesi I itu.

Selain itu, Vivien juga mengapresiasi inklusivitas kegiatan ini. “Peserta difabel pun mendapatkan ruang untuk mendapatkan pengalaman yang sama,” kata Vivien. Langlang kali ini memang turut menyertakan dua penyandang disabilitas, Lia Nur Rochma dan Arif Prasetyo dalam sesi I.

Keduanya masing-masing penyandang disabilitas tuli dan netra. Harap Vivien, kedepan acara seperti ini juga menjangkau para remaja, bahkan anak-anak,” kata Vivien.

Sementara, bagi Johanes Koraag, peserta Langlang sesi I lainnya, dengan mengikuti Langlang bak menjawab pertanyaannya saban melintas di gapura Ketandan. “Apa kisah sejarah yang ada dibalik nama ini? Apa yang pernah terjadi dulu di sana?" tanya Johanes.

Dengan mengikuti Langlang, kata Johanes, ia bisa merasakan kelindan bisnis yang pernah ada di Ketandan.

“Mulai dari usaha makanan, pabrik mie, jual beli emas, pembuatan becak, kebutuhan sehari-hari bahkan hingga tempat menikmati candu untuk melupakan kepenatan hidup. Semua tersedia di Ketandan,” kata pria yang kini tengah menempuh studi doktoral di UGM itu.

Lain lagi dengan Kata Wahyu Widiarto Basjir yang mengikuti Langlang sesi II. “Interaksi dengan warga Ketandan yang lebih intens akan lebih menubuhkan pengalaman di Ketandan pada para peserta tur. Ngobrol sambil makan malam dengan menu khas Ketandan mungkin akan terasa lebih berkesan,” terangnya.

Sayang, menurut Johanes, keramaian Malioboro seolah menutup kisah Ketandan yang pernah jaya. Padahal, boleh jadi keramaian Malioboro bermula dari kawasan Ketandan.

"Namun, lewat perjalanan Langlang Ketandan telah memicu banyak pemikiran mengenai hal-hal yang bisa dilakukan untuk merawat memori kolektif tentang Ketandan, agar tak hilang dilumat jaman," pungkasnya.

Baca Juga: Pulau Jawa Dekade Pertama Abad 20: Ternyata Jakarta Sudah Berlangganan Banjir Sejak Dulu Kala

Artikel Terkait