Intisari-Online.com—Intisari akan menyelenggarakan program ekskursi (perjalanan) di Yogyakarta bertajuk Langlang Ketandan pada Sabtu, 28 Januari 2023 mendatang. Langlang merupakan program ekskursi (perjalanan), yang berkait erat ihwal cerita kota dan interaksi peserta dengan warga, sejarah, dan budayanya.
Seperti tertera pada tajuk, Langlang berlangsung di Ketandan, sebuah kawasan Pecinan di Yogyakarta. Berada di pusat kota, kawasan itu berbatasan langsung dengan Pasar Beringharjo di selatan, dan rajamarga Malioboro di barat. Kini, perkampungan yang nyaris sama tuanya dengan Yogyakarta itu kian penting sejak menjadi kawasan penyangga sumbu filosofis yang tengah diupayakan masuk dalam nominasi warisan budaya UNESCO.
"Kami menggelar kembali Program Langlang, ekskursi atau perjalanan dengan cerita dari Intisari yang mengawali perhelatan menuju 60 tahun majalah mungil ini," kata Mahandis Yoanata Thamrin, Editor in Chief Intisari. "Pecinan Ketandan kami pilih sebagai program pertama Langlang pascapandemi, sekaligus bagian merayakan Tahun Baru Imlek. Kami berharap program ini mampu membangkitkan cerita kota dan pelestarian budayanya—termasuk tradisi pecinan, kuliner, dan arsitektur."
Bicara tentang Yogyakarta, musykil tanpa menyinggung Ketandan. Terlampau banyak kisah orang-orang Tionghoa atau pun keturunan mewarnai jalannya kota ini. Meskipun populasi orang-orang Tionghoa di Yogyakarta bukanlah yang terbesar, keberadaannya memberikan banyak sumbangsih di kota sultan ini.
Salah satu kisah yang membikin Pecinan ini sohor boleh jadi adalah keberadaan Kapiten Tan Djin Sing (KRT Secodiningrat), yang menjadi sosok pimpinan warga Tionghoa yang tenar di kalangan Keraton, masyarakat Jawa, dan Eropa. Ia pun menjadi pembuka jalan bagi Raffles guna ‘menemukan’ Candi Borobudur pada 1813. Bahkan kini, bekas kediamannya di Ketandan digadang-gadang hendak dijadikan museum.
Namun,Tan Djin Sing adalah salah satu kisah saja di antara sekian kisah lainnya. Melalui Langlang, Intisari berupaya menyingkap ragam kisah pinggiran dari Kampung Ketandan yang hingga kini kerap terlewat.
Misalnya, Langlang akan mengajak untuk lebih mengenal sejarah perkembangan kampung Ketandan dan berkenalan dengan cara hidup masyarakat Ketandan. Tak lupa, Langlang juga akan enyambangi warga sekaligus menyimak tutur kisah personal. Perjalanan ini mengungkap narasi tradisi lisan berdasar memori kolektif warga Ketandan.
Agni Malagina, peneliti budaya Tionghoa FIB UI sekaligus pemandu Langlang, mengatakan“Ekskursi interpretif Langlang Ketandan akan menjadi bagian dari pariwisata berkualitas yang edukatif, menyenangkan, dan memberikan pengalaman personal untuk peserta. Ayo dukung pelestarian di Kawasan Cagar Budaya dan berikan semangat pada komunitas warga!”
Sejatinya memori para warga Ketandan sebetulnya penuh dengan kisah tentang kawasan ini. Boleh jadi, titik kunjungan Langlang sama dengan para pejalan lain. Namun, kata Agni, ada cerita-cerita di balik itu yang jadi poin penting yang bisa kita renungkan bersama. Memori itu bahkan kini jarang teringat oleh warga Ketandan, apalagi bagi orang yang tinggal di luar kawasan ini.
“Memori mereka penuh dengan kisah kehidupan ketandan, tidak hanya keluarga, tapi juga lingkungan kanan-kiri mereka, bagaimana mereka punya persepsi tentang kehidupan mereka dengan bersama masyarakat jawa yang berkebudayaan jawa. Mereka saling mengisi dua kebudayaan Tionghoa–Jawa yang sangat kental," kata Agni.
Menurut Agni, salah satu yang menjadi pembeda antara Ketandan dengan daerah pecinan lainnya adalah keberadaanya di pusat kota, sehingga membuat corak kebudayaan masyarakat Ketandan sangat heterogen dan terbuka. “Sehingga karakter orang Ketandan cenderung terbuka dipengaruhi menjadi lalu lalang kebudayaan."
Selain Agni, sebagai pemandu ada pula Meyra Marianti, Direktur walkingwalking.com.“Kemudahan akses pengetahuan sejarah dan cagar budaya di seluruh Indonesia menjadi hal yang wajib diperjuangkan, agar terwujud Yogyakarta as responsible tourism destination and tourism for all. Pengembangan pariwisata di Ketandan ini semoga menjadi pemicu agar wilayah yang lain lebih accessible untuk semua orang. Karena jalan-jalan adalah hak segala bangsa!”
Langlang kali ini juga membuka kesempatan bagi para penyandang disabilitas untuk mengikuti ekskursi. Meskipun dengan catatan bahwa kawasan Ketandan belum ramah bagi penyandang disabilitas fisik dan pengguna kursi roda.
Meyra menganggap, bahwa jalan-jalan bukan hanya privilese sebagian orang. Maka itu, dengan banyak keterbatasan yang dialami para penyandang disabilitas, Langlang turut berupaya agar semua orang bisa mengakses ekskursi ini.
Beberapapersinggahan ekskursi ini antara lain adalah Rumah Kongsi Ong Khoe Sioe (OKS), sebuah tempat penampungan orang-orang Tionghoa seberang lautan. Atas jasanya itu, OKS juga dikenal sebagai filantropis Yogyakarta abad ke-20. Oleh beberapa warga sepuh di Ketandan, rumah OKS juga dikenal sebagai Gedong Tinggi. Juga tidak luput kisah usaha rintisan becak OKS yang keuntungannya ia gunakan untuk keberlangsungan rumah penampungan para migran ini.
Sishe Eliyawati, salah satu cucu OKS, akan bertutur ihwal kisah personal tentang bagaimana ingatannya tentang sang kakek dalam percaturan masyarakat Ketandan. Dia menyambut peserta Langlang Ketandan di rumahnya, "Saya akan mengajak Anda melihat rumah Engkong yang sudah menjadi bangunan Cagar Budaya Provinsi DIY, bercerita tentang Ketandan, serta membuat roti dan srikaya khas rumah kami untuk Anda!”
Bila kita menilik suatu kawasan, lazimnya peleburan budaya amat terlihat dari budaya makan. Langlang akan sambang ke salah satu pabrik mi di Ketandan yang telah berdiri sejak 1930. Pabrik ini dulu dimiliki oleh Tan Hie Geuw —kini operasi pabrik dijalankan oleh keturunannya. Dari sang cucu, kita akan mendengar kisah-kisah bagaimana Tan yang pernah memasak untuk para pejuang di masa penuh kekacauan tatkala Republik masih muda. Tan saat itu ditugaskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX di dapur umum.
Baca Juga: Intisari Edisi Januari 2023: Melangkah dengan Hati di Tahun Kelinci
Baca Juga: Ke Yogyakarta, Jangan Jangan Lupa ke Pasar Beringharjo: dari Batik hingga Klepon, Semua Ada di Sana
Baca Juga: Kisah Panggung Krapyak, Tempat Berburu Menjangan Raja Yogyakarta
Baca Juga: Titik Nol Km Jogja, Pesona Bangunan Indisch
Selanjutnya, Langlang juga akan sambang ke Toko Djoen, sebuah toko roti yang berdiri sejak 1935. Toko Djoen yang masih bertahan hingga kini bahkan tetap mempertahankan resep roti lawasnya. Di toko Djoen ini, salah satunya, kita akan menengok serba-serbi pembuatan roti yang bukan dibakar di dalam oven modern, memori kolektif pemilik toko tentang Yogyakarta pada masa silam.
Program Intisari bertajuk Langlang Ketandan didukung Saya Pejalan Bijak; walkingwalking.com; Interpretasi Indonesia; Jaladwara; Pusat Dokumentasi Arsitektur; dan Si Woles.
Langlang Ketandan digelar pada Sabtu, 28 Januari 2023.Ekskursi ini akan berlangsung dalam pilihan dua sesi, yakni Pendar Ketandan Pagi (09.00–12.00 WIB) dan Gemerlap Ketandan Malam (19.00–21.00 WIB). Ekskursi ini berbayar, seluruh dana yang terkumpul dari Langlang Ketandan ini akan disumbangkan kepada masyarakatKetandan agar mampu mengembangkan kampung mereka.
Untuk pendaftaran, silakan hubungi Rimbawana [0857-8530-7383] atau langsung mendaftar dengan klik di sini.
Majalah Intisariterbit perdana pada 17 Agustus 1963. Kelahiran majalah mungil ini menandai media pertama Kompas Gramedia, yang senantiasa menyala-nyala di lintas generasi. Pendirinya, Petrus Kanisius Ojong dan Jakob Oetama. Setiap bulan kami menyajikan tema histori, biografi, dan tradisi yang dikemas dalam sudut pandang minat insani. Dalam perjalanan Menuju 60 Tahun,kamimendampingi setiap generasi untuk mencari Indonesia yang lebih baik.