Intisari-Online.com – Jika mampir ke Malioboro, sempatkanlah kaki melangkah ke titik Nol kilometer Yogyakarta. Titik ini berada tak jauh dari Kantor Pos Besar Yogyakarta, di ujung jalan Malioboro. Lalu sapukan pandangan ke sekeliling. Akan tampak bangunan-bangunan megah berusia ratusan tahun. Inilah kawasan'"Eropa" pertama di Yogyakarta.
Pada malam hari kawasan ini ramai oleh orang yang nongkrong sampai malam hari. Beberapa bangku dan seabreg kegiatan di Benteng Vredeburg membuat denyut nadi kehidupan titik nol terus berdenyut. Sesekali orang yang melakukan foto prewedding ikut memberi warna kawasan ini.
Kawasan titik nol dikenal dengan nama Loji. Saya mendengar istilah ini saat waktu masih SMP sering mendengar penyebutan Gereja Katolik St. Franciscus Xaverus sebagai Gereja Kidul Loji. Dengan logika,berarti di sebelah utara gereja ini adalah loji.
Belakangan baru tahu bahwa loji mengacu ke bangunan-bangunan besar dengan halaman luas yang ada di sekitar kawasan itu beratus-ratus tahun lalu. Adalah Benteng Vredeburg (Benteng Perdamaian) yang menjadi loji tertua di Yogyakarta. Bangunan yang disebut dengan Loji Besar ini dibangun tahun 1776 - 1778, hanya dua tahun berselang setelah Keraton Yogyakarta Hadiningrat berdiri.
Benteng yang awalnya bernama Rustenburg ini didirikan untuk mengamati gerak-gerik Keraton. Dalihnya sih untukmengamankan Keraton. Akan tetapi letaknya yang tak jauh dari Keraton dan berada di poros Keraton - Tugu tak pelak mengindikasikan hal itu. Terlebih, sebuah meriam sengaja diarahkan ke Keraton dalam kondisi siap tembak. Fasilitas lainnya adalah tempat pengintaian dan peristirahatan.
Saat ini Loji Besar dibuka untuk umum. Terkadang dijadikan ruang pameran. Anda bisa melongok isi benteng dengan leluasa. Cuma, jam buka sampai sekitar pukul 12.00.
Ada Loji Besar tentu ada Loji Kecil. Nah, bangunan ini berada di sisi timur Loji Besar, membentang sampai perempatan Gondomonan. Kawasan ini digunakan sebagai wilayah hunian dan menjadi hunian orang Belanda yang pertama di Yogyakarta. Sisa-sisa fasilitas pendukung masih bisa dinikmati kemegahannya seperti Gereja Protestansche Kerk yang berdiri tahun 1857 (kini menjadi Gereja Kristen Marga Mulya, berlokasi di utara Gedung Agung) dan Gereja Fransiskus Xaverius (bangunan lama) yang dikenal dengan Gereja Kidul Loji yang berdiri tahun 1870, berada di sebelah selatan kawasan Loji Kecil.
Sayang, hanya beberapa bangunan yang masih tersisa sekarang ini. Di kawasan Loji Kecil terdapat Gedung Societeit Militair sebagai tempat bersantai para serdadu milker. Di depan Loji Besar ada Loji Kebun. Kini dikenal dengan nama Gedung Agung. Bangunan bergaya Eropa ini didirikan tahun 1824 dan digunakan sebagai Gedung Karesidenan.
Halaman Loji Kebun sangat luas dan dihiasi dengan area-area yang dikumpulkan para pejabat Belanda dari seluruh penjuru Kota Yogyakarta. Tahun 1912 bangunan ini dilengkapi dengan Societeit de Vereniging sebagai tempat berdansa para pejabat Belanda. Saat gempa menimpa Yogyakarta tahun 1867, Loji Kebun dan Loji Besar termasuk beberapa bangunan yang rubuh. Namun segera dibangun kembali.
Loji Kebon pernah terganggu pembangunannya akibat Perang Diponegoro tahun 1825 - 1830 yang membuat pemerintah Belanda hampir bangkrut. Gedung rancangan A. Payen ini menjadi Istana Kepresidenan saat ibukota Indonesia pindah ke Yogyakarta. Hingga sekarang, meski ibukota sudah pindah ke Jakarta, Loji Kebon masih ditetapkan sebagai Istana Kepresidenan.
Ada satu loji lain yang tak kalah menarik. Loji Setan! Dari namanya saja sudah menimbulkan minat. Bangunan ini memang dikenal angker. Di sebuah ruangan di bagian timur dan di aula tengah sering terdengar suara orang minta tolong dan suara iringan musik dansa. Bangunan ini sekarang digunakan sebagai kantor DPRD. Sebelumnya pernah digunakan kantor Komite Nasional Indonesia (1945 - 1949), kantor Dewan Pertahanan Negara dan penyelenggaraan sidang Kabinet (1948).
Lokasi Loji Setan memang agak jauh dari loji-loji yang disebutkan tadi, agak ke utara arah Tugu.
Kawasan loji-loji ini bisa dikunjungi sekalian berbelanja di Malioboro atau Pasar Beringharjo. (Yds/Where To Go Joglosemar 2011)