Intisari-Online.com – Bagaimana wajah Jakarta dan penduduknya pada dekade pertama abad XX? Ternyata seperti dunia lain bagi kita, walaupun ada juga hal-hal yang masih sama dengan sekarang.
Kita ikuti saja kesan-kesan Augusta de Wit, seorang wanita Eropa yang mendarat di Tanjungpriok pada awal abad ini dari bukunya Java, Facts and Fancies (1921). Bukunya dicukil oleh Helen Ishwara dan dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1999.
--
Yang disebut "kota" adalah Batavia lama. Penampilannya kelabu, suram, dan tidak berjiwa, seperti kota-kota Eropa yang menjadi korban perang. Memang "kota" ini didirikan sebagai benteng pada tahun 1620 di reruntuhan Jacatra.
Baca Juga : Diboikot Mataram, Kompeni di Batavia Terancam Kelaparan, Tapi Malah Selamat Berkat Sulap
Kini sudah tidak ada lagi tentara di sana. Rumah-rumah megah gaya Belanda abad XVII sudah kehilangan pamornya dan berubah menjadi kantor atau gudang.
Kota lama ini cuma hidup beberapa jam sehari, yaitu saat jam kerja. Begitu gemuruh trem terakhir meninggalkannya, ia kembali sunyi dan mati.
Kehidupan sudah bergeser ke selatan. Di sini terdapat jalan-jalan besar yang diapit oleh deretan rumah-rumah berhalaman luas. Untuk menandai batas halaman dari jalan, tidak didirikan tembok pemisah, cukup tonggak-tonggak batu rendah.
Rumah-rumahnya berwarna putih dan memakai pilar-pilar. Letaknya jauh dari jalan. Sementara itu di halaman tumbuh tanaman bunga-bungaan dan pepohonan yang meneduhi jalan dan halaman itu sendiri.
Lapangan yang paling terkehal di Batavia ddalah Koningsplein (Medan Merdeka - Red.) yang berbentuk trapesium di depan kediaman gubernur jenderal. Kelilingnya ditanami tiga deret pohon asam.
Di lapangan itu kita bisa melihat ternak kurus-kurus sedang merumput. Kadang-kadang ada ular dan tonggeret menyelinap di rerumputan.
Baca Juga : Duh, Istilah Hidung Belang Ternyata Lahir Karena Kasus Gubernur Batavia Pieterzoon Coen
Di musim kemarau, lapangan itu botak dan coklat. Tanahnya. pecah-pecah. Kemudian tibalah musim hujan.
Source | : | intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Moh. Habib Asyhad |
KOMENTAR