Sewaktu Bang Ali Sadikin Mengatur Betawi (1): 'Biar Saya yang Pertanggungjawabkan di Akhirat'

K. Tatik Wardayati

Editor

Sewaktu Bang Ali Sadikin Mengatur Betawi (1): 'Biar Saya yang Pertanggungjawabkan di Akhirat'
Sewaktu Bang Ali Sadikin Mengatur Betawi (1): 'Biar Saya yang Pertanggungjawabkan di Akhirat'

Intisari-Online.com – Siapa tak kenal Ali Sadikin? Pada masanya, mantan gubernur DKI Jaya ini begitu dicintai rakyatnya karena bisa mengubah wajah Jakarta. Kini di usianya yang senja, ia tetap setia meluncurkan pemikiran-pemikirannya dengan semangat yang masih menyala. Tulisan ini penah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 2005, dengan judul asli Sewaktu Bang Ali Mengatur Betawi, dan ditulis oleh T. Tjahjo Widyasmoro & A. Bimo Wijoseno.

--

“Membangun Jakarta itu butuh duit," tegasnya. Dari mana asal dananya, ia berujar, "Biar saya yang pertanggungjawabkan di akhirat."

Peristiwa ini terjadi 1 April, tahunnya tidak disebutkan. Waktu itu Ali Sadikin bermobil bersama sejumlah wartawan, menuju sebuah acara di Menteng Wadas. Ketika melintas di Jin. By Pass (sekarang Jin. Jend. Ahmad Yani), rombongan itu melihat sebuah truk bermuatan pasir delapan ton, begitu santai berjalan di jalur tengah. Segera Ali menyuruh sopirnya membunyikan klakson, maksudnya agar truk itu minggir, karena jelas melanggar aturan.

Namun sungguh konyol, ternyata truk itu tetap meluncur di jalur tengah, seolah tak menghiraukan kendaraan di belakangnya. Ketika dikejar, truk itu tetap jalan terus. Saat diminta berhenti, masih tetap bandel juga, malah seperti mau melarikan diri. Untunglah, setelah dipepet terus, truk itu mau berhenti juga.

"Truk siapa ini?" tanya Ali setelah sopir truk turun.

"Truk ALRI, Pak," jawab sopir. (Belakangan Ali yang mengisahkan kembali, meralat bahwa sopir menjawab "Polisi")

"Mana surat tugas dan SIM-mu!"

Setelah menerima dan memeriksa surat-surat dari sopir, Ali bertanya lagi, "Apa Saudara tidak merasa bersalah?"

"Tidak, Pak," jawab sopir itu. "'Kan boleh saja jalan di sebelah kanan."

Plak! Sebuah tamparan telak mengenai wajah sopir.

"Kalau bawa muatan berat, apa boleh di jalan tengah?" Ali Sadikin bertanya lagi. Belum sempat sopir itu menjawab, "Plakl" Sebuah tamparan mendarat lagi.

"Apa Saudara tidak tahu ini jalur cepat. Mau seenaknya saja memakai jalan ini seperti jalanmu sendiri. Saudara tak menghiraukan orang lain. Saudara memalukan ALRI. Saya juga dari ALRI!" kata Ali Sadikin keras. Sementara sopir hanya menunduk.

"Jadi ABRI jangan sembarangan ya!" pesan Ali Sadikin sebelum naik ke mobilnya.

Secuplik kisah yang termuat dalam buku memoar Ali Sadikin berjudul Bang Ali, Demi Jakarta 1966 1977 tulisan Ramadhan K.H. itu cukup untuk menggambarkan sisi keras dan tanpa kompromi bekas gubernur DKI ini. Pendiriannya tegas, tak terbantahkan, dan ... ringan tangan. Tempelengan yang diterima sopir sontoloyo itu belum seberapa. Beberapa bawahannya di Pemda DKI juga pernah kena "sentuhan sayangnya". Meski beberapa jam kemudian Ali memanggil mereka kembali untuk menunjukkan letak kekelirun itu, sehingga tidak ada dendam.

Begitu kerasnya Ali, sampai-sampai oleh beberapa kalangan, pensiunan Letnan Jenderal Marinir ini dijuluki sebagai pemimpin bertangan besi. Ali sendiri memilih kata "tegas" terhadap sifatnya itu. Tegas itu terhadap sesuatu yang tidak sesuai aturan. Suatu sifat pemimpin yang konon kabarnya diperlukan untuk mengatur bangsa yang cenderung tidak tertib.

Memang, Ali yang sekarang bukanlah Ali yang dulu lagi. Kini pria 78 tahun ini harus menjaga betul kesehatannya setelah menjalani cangkok ginjal lima tahun lalu di RRC. "Kalau malam, Pak Ali tidak bisa keluar rumah karena harus minum obat secara ketat," bisik seorang pengawalnya, pensiunan Marinir bertubuh kekar. Tubuh yang dulu gagah dan rupawan itu kini harus berjalan perlahan. Dua alat bantu dengar terpasang di telinganya.

Namun, ketika Intisari mengajaknya bernostalgia tentang masa-masa kepemimpinannya (1966 - 1977), tampak semangatnya kembali menyala. Ali memang selalu pasang muka serius, pelit senyum, dan selalu mengernyitkan dahi. Namun dari suaranya yang terdengar lirih itu selalu tersirat ketegasan.

"Saya berbakti untuk rakyat, bukan untuk kekuasaan. Ngerti enggak?" ujar Ali berkali-kali selama mengobrol dua jam di kantornya di Jin. Borobudur 2, Jakarta Pusat.

Bocah berperut buncit

Ali diangkat Bung Karno (BK) sebagai gubernur DKI ke-6 pada 1966 di usia yang cukup muda untuk ukuran sekarang, yaitu 39 tahun. Sebelumnya, ia pernah menjabat Menteri Perhubungan Laut di dua kabinet dan berpangkat Mayor Jenderal. Alasan BK memilihnya antara lain, "Karena dia orangnya keras. Saya kira untuk mengurus Jakarta Raya baik juga een betje koppigheid." Koppigheid artinya keras kepala. Sepuluh tahun kemudian pilihan itu terbukti tidak salah.

Padahal Jakarta yang diwariskan kepada Ali kala itu seolah menjadi miniatur negeri ini yang porak-poranda pasca-pergolakan politik G3OS/PKI. Wajah Jakarta terlihat bopeng, mirip kampung besar yang kumuh. Jalan-jalan aspal penuh lubang, bus semrawut, sementara jalan-jalan di kampung tak beraspal dan becek. "Saking beceknya, bahkan sudah pakai sepatu bot, cipratan airnya masih terkena celana," kenang Ali.

Namun, yang membuat Ali prihatin, soal keadaan rakyatnya. Sarana kesehatan seperti Puskesmas tidak ada. Bangunan sekolah sudah bobrok dan dihuni tiga atau empat sekolah sekaligus. Pasar sedikit dan seadanya. Gelandangan terlihat di mana-mana. Ketika berkunjung ke sejumlah kampung, Ali menemukan bocah-bocah berperut buncit, gusi merah, dan mata melotot menyambutnya. Begitu memprihatinkan!

- bersambung -