Jika di Indonesia hukuman mati masih dilaksanakan, di kebanyakan negara hukuman mati tak lagi dilaksanakan dan hanya sebagai kulturhistoris.
Kebanyakan negara-negara sudah tidak mencantumkan pidana mati di dalam kitab undang-undang hukum pidananya.
Dikutip dari Jurnal Lex Crimen (2017), alasan dari mereka yang pro pidana mati adalah adanya peningkatan kualitas dan kuantitas kejahatan dari waktu ke waktu.
Oleh karena itu, para penjahat perlu diberi terapi kejutan berupa pidana mati, terutama bagi penjahat tertentu yang tak lagi dapat diharapkan untuk berubah.
Sementara itu, kelompok kontra mengaitkan pelaksanaan hukuman mati dengan penegakan Pancasila dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Masyarakat yang kontra dengan hukuman mati menganggap bahwa pidana tersebut tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab, seperti yang tertuang dalam Pancasila.
Selain itu, amandemen kedua Pasal 28A dan 28I Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun, termasuk negara.
Sehingga dengan masih diberlakukannya hukuman mati, pihak yang tidak setuju menganggap bahwa negara telah merampas hak yang bersangkutan untuk hidup.
Atas dasar itulah, pidana mati dinilai sebagai hukuman yang melanggar atau tidak seusai dengan penegakan HAM.
Selain itu, masyarakat yang kontra terhadap hukuman mati juga menganggap bahwa hukuman tersebut tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan, yakni untuk menghalangi orang dari perbuatan kejahatan, dan bukan balas dendam.
Hukuman mati dianggap tidak bisa menghilangkan kejahatan di masyarakat.
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR