Intisari-Online.com-Sejak kedatangan orang Belanda pertama kali ke Hindia Timur pada abad ke-17,gundiksudah menjadi semacam kebutuhan.
Persoalanpergundikanmemang bukan sesuatu yang baru.
Namun baru pada pemerintahanJ.P. Coen, sebagai Gubernur Jenderal kedua VOC, ia mengajukan kepada Heeren XVII, agar dikirimkan wanita dari Belanda.
Hal itu menurutnya perlu lantaran kebutuhan biologis para serdadu juga ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi.
MelansirKompas.com, di Batavia, prostitusi sudah dimulai sejak JP Coen membakar Jayakarta dan mendirikan kota baru di atas reruntuhannya.
Penelitian Pusat Penelitian Sumberdaya Regional Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PSDR-LIPI) tentang sejarah prostitusi di Jakarta menunjukkan, sejak masa inilah sistem pergundikan yang jadi cikal bakal prostitusi di Jakarta dimulai.
Ridwan Saidi, budayawan, mengatakan, konsentrasi prostitusi pertama di Batavia adalah di kawasan Macao Po, disebut demikian karena pekerja seksnya berasal dari Makao, di sebuah rumah bertingkat di seberang Stasiun Beos.
Mereka didatangkan oleh para germo Portugis dan China untuk menghibur tentara Belanda.
Leonard Blusse dalam buku Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC memaparkan, Gubernur Jenderal JP Coen menyadari bahwa manusia tak bisa hidup tanpa wanita.
JP Coen pun harus menghadapi keharusan menyediakan, "perawan-perawan Belanda yang sudah mateng kawin."
Perawan-perawan itu tak lain adalah untuk karyawan JP Coen di Timur, termasuk Batavia.
Baca Juga: Cemburu Sedikit Keluar Peraturan Tiran, Kisah Cinta Raja China Anxi dan Kekasih Prianya
Namun, pada kenyataannya noni-noni Belanda itu gampang merana berada di daerah tropis.
Tak hanya itu, penolakan itu jugadikarenakanpasangan keluarga yang datang ke Hindia dikhawatirkan hanya akan bertujuan memperkaya diri.
Memang saat itu Hindia terkenal sebagai tempat pelarian pengusaha yang mengalami kebangkrutan di Eropa.
Pasangan yang telah mendapat keuntungan banyak kemudian lari ke Belanda.
Pada titik ini Hereen XVII merasa sumber-sumber perekonomiannya terancam.
Dejalan dengan itu pengiriman wanita lajang ke Hindia juga membutuhkan biaya besar.
Biaya ini tidak sebanding dengan keuntungan yang bakal diperoleh.
Selain itu kekhawatiran pasangan Eropa yang menikah tidak lagi mengabdi pada perusahaan juga terus dijadikan alasan.
Mereka yang telah menikah akan memperkaya diri sendiri, sedang kehidupan mereka ditanggung oleh perusahaan.
Kemudian juga ada alasan yang lebih bersifat biologis.
Disebutkan bahwa perkawinan suami-istri Belanda di Hindia ternyata sering mandul.
Baca Juga: Kisah Pria Tukang Koleksi Gundik Cantik dari Berbagai Macam Etnik
Keguguran dan kematian anak-anak lazim terjadi.
Sejak 1635, dewan komisaris mengubah taktik dan mengikuti cara-cara kolonisasi Portugis, menggalakkan perkawinan dengan perempuan Asia untuk menciptakan perempuan campuran yang patuh khususnya di Batavia.
Peraturan kala itu, seorang pria yang menikah dengan perempuan hitam pribumi tak boleh membawa keluarganya ke Belanda.
Peraturan itu membuat banyak pegawai Kompeni lebih suka hidup dengan nyai-nyai sehingga, kapan saja ia memutuskan kembali ke Belanda, ia bisa membebaskan diri dari ikatan dengan gundik-gundik dan anak-anaknya untuk kemudian di negeri sendiri memilih istri yang diimpi-impikan.
Sistem pergundikan ini sudah ada sejak sebelum Belanda tiba, dan menurut Blusse, sistem ini ditentang para pembesar gereja di Batavia.
Sistem pergundikan itu menghasilkan sejarah panjang keberadaan para nyai.
Kembali ke Macao Po, seiring dengan perkembangan Batavia, prostitusi pun meluas ke Gang Mangga, kini sekitaran Jalan Pangeran Jayakarta.
Kompleks prostitusi Gang Mangga akhirnya kalah bersaing dengan rumah bordil Soehian yang dibikin orang China.
Pemerintah Belanda menutup tempat itu namun kemudian prostitusi tumbuh kembali di Gang Hauber (Petojo) dan Kaligot (Sawah Besar).
Baca Juga: Gundik Firaun yang Mengaku Tuhan Ini Lebih dari 200 Perempuan, Berapa Banyak Anaknya?
(*)