Intisari-online.com -Ratu Elizabeth II adalah ratu terlama dalam sejarah Inggris.
Ia memimpin monarki Inggris dari 6 Februari 1952, hingga kematiannya pada 8 September.
Selama masa pemerintahannya, gerakan pembebasan nasional dan komunis menyebar ke seluruh koloni, menuntut kemerdekaan dari pemerintahan Inggris.
Tak sedikit, disambut dengan represi brutal oleh pasukan Inggris meski tak banyak diberitakan media.
Semasa pemerintahan Ratu Elizabeth II kerajaan Inggris melakuka kebrutalan pada rakyatnya, bahkan negara lain, dalam upaya yang akan dilakukan untuk mempertahankan dominasi regional.
Menurut liberationnews.org, tercatat ada beberapa kekejaman Kerajaan Inggris selama pemerintahan Ratu Elizabeth II.
Dua diantaranya ternyata dilakukan di Indonesia dan Malaysia.
Pertama adalahDarurat Malaya adalah perang gerilya antara angkatan bersenjata Inggris dan Tentara Pembebasan Nasional Malaya.
Sayap militer Partai Komunis Malaya (MNLA), yang dimulai empat tahun sebelum pemerintahan Ratu Elizabeth dan berlanjut delapan tahun setelah ia naik takhta.
MNLA mencari kemerdekaan dari pemerintah kolonial Inggris dan mulai melancarkan serangan gerilya di perkebunan karet, kantor polisi, dan jaringan transportasi dan infrastruktur.
Pada tanggal 18 Juni 1948, sebagai tanggapan atas serangan ini, otoritas Inggris mengumumkan keadaan darurat.
Ini memicu perang selama 12 tahun dan kampanye teror bumi hangus di mana militer Inggris membakar rumah dan lahan pertanian milik mereka yang dicurigai memiliki hubungannya dengan MNLA.
Lalu merelokasi sekitar 400.000 hingga satu juta orang ke kamp konsentrasi yang disebut "desa baru," dan menyemprot tanaman dengan Agen Oranye untuk membuat pemberontak kelaparan.
Keadaan darurat dinyatakan berakhir pada tahun 1960, dan pada saat itu diperkirakan 6.700 pejuang gerilya dan lebih dari 3.000 warga sipil telah kehilangan nyawa mereka.
Ahli strategi militer dan pembuat kebijakan masih mempelajari Darurat Malaya hari ini sebagai salah satu dari sedikit kampanye kontra-pemberontakan yang berhasil dilakukan oleh Barat.
Tak hanya Malaysia Indonesia pun sempat dirumorkan mengalami situasi yang sama.
Pada tahun 1965, mata-mata Inggris meluncurkan kampanye propaganda canggih yang menghasut kekerasan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), yang saat itu merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia.
Dari Singapura, para propagandis Inggris membuat buletin yang konon ditulis oleh diaspora Indonesia yang mendorong orang-orang di dalam negeri, termasuk jenderal-jenderal angkatan darat, untuk memusnahkan komunis dan melenyapkan PKI.
Rumor ini kerap dikaitkan dengan istilah "dewan jenderal" oleh para jenderal Indonesia, yang dibunuh karena berencana menghancurkan PKI.
PKI, kata mereka, "sekarang adalah ular yang terluka" dan sekarang saatnya untuk membunuhnya sebelum ia memiliki kesempatan untuk pulih.
Serangan itu juga termasuk stasiun radio yang dijalankan oleh orang Malaysia yang menyiarkan propaganda anti-komunis ke Indonesia.
Kampanye ini diluncurkan oleh Inggris untuk melemahkan Presiden Indonesia yang didukung PKI, Sukarno, yang menentang rencana pemerintah untuk menggabungkan bekas koloninya menjadi federasi Malaya, sebuah rencana yang dilihatnya sebagai kekaisaran yang berusaha mempertahankan kontrol kolonialnya di wilayah tersebut.
Pada 1 Oktober, sebuah percobaan kudeta di dalam tubuh Angkatan Darat, yang dilakukan oleh pasukan sayap kiri yang percaya bahwa beberapa di antara jajarannya sedang merencanakan kudeta terhadap Sukarno.
Adalah katalisator bagi Jenderal Suharto untuk merebut kekuasaan, menghancurkan pemberontakan dan pembantaian semua yang dia curigai memiliki hubungan dengan PKI.
Selama periode ini, mata-mata Inggris mengirimkan buletin edisi khusus yang menyamakan PKI dengan Hitler dan mendesak mereka untuk melanjutkan kampanye kekerasan mereka, bahkan menyatakan, "Komunisme harus dihapuskan dalam segala bentuknya. Pekerjaan yang dimulai oleh tentara harus dilanjutkan dan diintensifkan."
Kekerasan akhirnya berakhir pada Maret 1966 ketika Sukarno menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Suharto.
Pada saat itu, diperkirakan 500.000 hingga satu juta orang telah terbunuh, menjadikannya salah satu pembantaian terburuk abad ke-20.