Intisari-Online.com – Di Amerika dan sebagian besar Kanada, memiliki tradisi pemakaman yang telah dilakukan selama beberapa dekade, bahkan berabad-abad.
Tetapi tradisi ini sangat berbeda dengan tradisi di negara dan budaya lain.
Ini adalah tradisi pemakaman Suku Yanomami, yang menyoroti bagaimana budaya yang berbeda merawat orang yang meninggal.
Suku Yanomami merupakan sekolompok sekitar 35.000 penduduk asli.
Mereka membentuk sekitar 200 hingga 250 desa di hutan hujan Amazon di perbatasan antara Venezuela dan Brasil.
Hutan hujan Amazon adalah sumber daya utama mereka untuk tumbuh, mengumpulkan, dan berburu makanan.
Untuk menghindari penggunaan sumber daya suatu daerah, mereka terus-menerus memindahkan desa mereka ke lokasi baru.
Suku Yanomami tidak percaya bahwa kematian adalah hal yang wajar.
Mereka percaya bahwa dukun suku saingan mengirim roh jahat ke seseorang di suku mereka.
Sangat penting untuk melindungi roh setelah kematian dan membantu mereka mencapai kedamaian di dunia roh.
Mereka tidak berburu jenis burung tertentu, karena roh bisa masuk ke dalam tubuh dan tidak mencapai kedamaian.
Mereka juga percaya bahwa roh almarhum tidak dapat mencapai dunia roh sampai mereka pergi dari dunia hidup dengan menyelesaikan ritual pemakaman tertentu.
Maka, jenazah tidak dimakamkan karena proses penguburan dan pembusukan terlalu lama.
Sebaliknya, mereka memiliki ritual kremasi khusus
Ketika seseorang meninggal, mereka menutupi tubuhnya dengan dedaunan di hutan selama sekitar 30 hingga 45 hari.
Kemudian, mereka mengumpulkan tulang untuk upacara kremasi.
Setelah kremasi, maka Anda bisa mendengar tangisan dan nyanyian di antara warga desa.
Setelah kremasi, mereka mengumpulkan abunya untuk sup, melansir frazerconsultants.
Yanomami mempraktikkan endokanibalisme, yaitu memakan daging anggota suku yang telah meninggal.
Mereka percaya bahwa dengan memakan abu almarhum membuat semangat almarhum tetap hidup untuk generasi berikutnya.
Roh almarhum tidak dapat mencapai kedamaian di dunia roh sampai mereka memakan supnya.
Untuk kuahnya, mereka mencampur abu jenazah dengan pisang yang sudah difermentasi.
Kemudian, mereka mengisi labu dengan sup dan membagikannya kepada seluruh komunitas untuk dimakan.
Jika anggota suku musuh membunuh almarhum, mereka menyimpan abunya sampai mereka bisa membalas dendam atas kematian almarhum.
Mereka tidak ingin makan sup sampai almarhum memiliki jalan damai ke dunia roh.
Pada malam serangan balas dendam yang direncanakan, hanya para wanita yang makan sup.
Mereka juga mengkhawatirkan arwah para pejuang yang meninggal, namun jasadnya tidak diketemukan.
Itu berarti mereka tidak bisa melakukan ritual kremasi khusus.
Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari