Intisari-Online.com – Di negara kecil Papua Nugini, ada lebih dari 1.000 kelompok budaya yang berbeda.
Di antara mereka adalah suku Sambia, sebuah kelompok dengan ritual peralihan menuju kedewasaan yang mungkin paling ‘gila’ di dunia.
Inisiasi kedewasaan dimulai pada usia tujuh tahun dengan pemisahan anak laki-laki dari ibunya.
Anak laki-laki itu menghabiskan sisa masa mudanya hanya di hadapan laki-laki di gubuk yang semuanya laki-laki.
Pemisahan secara gender dilakukan secara ekstrem dilakukan pada anak laki-laki dan perempuan, bahkan mereka menggunakan jalur jalan kaki yang berbeda di sekitar desa.
Setelah dipisahkan dari wanita, anak laki-laki menjadi sasaran beberapa ritual perpeloncoan brutal.
Yang pertama, melibatkan upacara 'pertumpahan darah' dari hidung.
Prosedurnya sangat kasar, tetapi efektif.
Anak laki-laki itu ditahan di sebatang pohon dan rerumputan dengan tongkat yang kaku dan tajam ditusukkan ke hidungnya sampai darah mulai mengalir dengan bebas.
Begitu para tetua melihat darah, maka mereka mengeluarkan teriakan perang bersama-sama.
Setelah ‘pertumpahan darah’, anak laki-laki mengalami pemukulan dan cambukan yang parah.
Tujuan ritual itu adalah untuk menguatkan anak laki-laki dan mempersiapkan mereka untuk hidup sebagai pejuang.
Seperti telah dijelaskan, ritual ‘pertumpahan darah’ setara dengan inisiasi pria.
Yang membedakan Sambia dari kelompok lain adalah bagian kedua dari ritual inisiasi kedewasaan anak laki-laki, yaitu minum air mani.
Suku Sambia percaya bahwa pria dan wanita dilahirkan dengan tingu.
Tingu adalah bagian tubuh yang memungkinkan untuk melakukan prokreasi.
Tingu seorang wanita siap untuk reproduksi ketika dia pertama kali menstruasi.
Sementara tingu seorang pria lahir dalam keadaan mengerut dan kering dan satu-satunya cara untuk mengisinya adalah meminum ‘susu pria’ atau air mani pria dewasa lainnya.
Mereka percaya bahwa dengan meminum esensi laki-laki dari laki-laki lain, maka anak laki-laki akan menjadi kuat dan jantan.
Dilakukan di hutan dengan privasi, seorang anak laki-laki akan melakukan fellatio pada seorang pria muda, biasanya yang belum menikah antara usia 13 dan 21 tahun.
Anak laki-laki itu didorong untuk ‘minum esensi laki-laki’ sebanyak mungkin agar menjadi kuat.
Sekitar usia 13, melansir artofmanliness, seorang pria muda mulai pubertas dan tahap lain dalam inisiasi pun dimulai.
Ritual lain mimisan terjadi bersamaan dengan beberapa pemukulan untuk menyucikan pemuda itu.
Anak laki-laki itu sekarang dianggap bujangan dan akan memberikan ‘susu laki-laki’ kepada anak laki-laki lain yang baru memulai jalan menuju kedewasaan.
Sekitar usia 20 tahun, seorang pria Sambia siap untuk menikah, tetapi sebelum pernikahan berlangsung, para tetua suku mengajari pria muda itu rahasia untuk melindungi dirinya dari ketidakmurnian wanita.
Misalnya, ketika melakukan hubungan intim, seorang pria harus memasukkan daun mint ke dalam lubang hidungnya dan mengunyah kulit kayu untuk menutupi bau alat kelamin istrinya.
Ketika seorang pria berhubungan badan dengan istrinya, penetrasi tidak boleh terlalu dalam karena ini akan memingkatkan kemungkinan tercemar.
Akhirnya, setelah berhubungan badan, seorang pria Sambia harus mandi di lumpur untuk membersihkan kotoran yang mungkin didapat dari istrinya.
Bahkan setelah menikah pun, seorang pria Sambia tidak banyak menghabiskan waktu bersama istrinya, melainkan terus menghabiskan waktu dengan pria lain.
Ritus peralihan terakhir dalam kehidupan suku Sambia adalah menjadi ayah.
Setelah istrinya melahirkan, maka seorang pria Sambia dianggap memiliki hak penuh kejantanan.
Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari