Intisari-Online.com - Penggunaan lie detector atau alat pendeteksi kebohongan dalam pemeriksaan para tersangka kasus pembunuhan Brigadir J menjadi sorotan.
Diketahui kelima tersangka kasus pembunuhan Brigadir J telah menjalani pemeriksaan dengan alat tersebut.
Selain kelima tersangka, ada seorang saksi yakni asisten keluarga Ferdy Sambo, Susi, yang juga mengikuti tes pendeteksi kebohongan.
Lie detector atau poligraf sendiri merupakan sebuah perangkat elektronik yang mengukur perubahan respon tubuh seseorang ketika diberikan sejumlah pertanyaan terkait sebuah perkara.
Teknik ini kerap digunakan dalam proses penyidikan perkara oleh aparat penegak hukum hingga seleksi pejabat tinggi atau agen intelijen.
Dirangkum dari berbagai sumber, cara kerja perangkat uji poligraf atau lie detector adalah dengan mengukur perubahan kondisi tubuh seperti denyut jantung, tekanan darah, peningkatan keringat, hingga interval helaan napas.
Maka dari itu ada sejumlah sensor yang dipasang di tubuh objek pemeriksaan untuk mengukur semua parameter perubahan fisiologis sepanjang interogasi.
Sensor-sensor itu dipasang di jari-jari tangan, dada, perut dan lengan.
Pemeriksa nantinya akan mengajukan pertanyaan untuk melihat reaksi fisiologis seseorang melalui alat poligraf.
Sensor itu dapat mendeteksi apabila ada perubahan yang abnormal dari tubuh orang yang diperiksa.
Hasil pembacaan mengenai reaksi tubuh kemudian akan diterjemahkan oleh perangkat elektronik dan tertera pada sebuah kertas dalam bentuk grafik.
Menanggapi penggunaan uji poligraf dalam kasus pembunuhan Brigadir J, Pakar Hukum Pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai pemeriksaan tersebut tidaklah mendesak untuk dilakukan.
Menurutnya, kesaksian para tersangka dengan menggunakan lie detector tidak bisa dijadikan alat bukti dalam persidangan nanti.
"Menurut saya, itu enggak berpengaruh, karena tersangka oleh hukum saja dikasih hak ingkar. Enggak usah dikasih lie detector, dia mau ngomong apa aja enggak apa-apa," kata Abdul saat dihubungi Kompas.com melalui sambungan telepon, Selasa (6/9/2022).
Abdul Fickar menjelaskan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), para tersangka atau terdakwa diberikan hak untuk mengingkari pernyataan mereka sendiri.
Pengingkaran tersebut, kata Abdul, membuat keterangan para tersangka bisa berubah-ubah, baik dalam pemeriksaan maupun dalam persidangan.
"Jadi, dia (para tersangka) mau bohong pun ada legitimasinya, KUHAP itu diberikan dia hak ingkar," ujar Abdul Fickar.
Abdul mengatakan, dibanding memeriksa berulang kali menggunakan alat tersebut, sebaiknya polisi dengan saksama mengumpulkan alat bukti yang mampu membantah pembelaan para tersangka.
Digunakan dalam pemeriksaan tersangka kejahatan, ternyata penggunaan alat ini sendiri tak menutup kemungkinan dari upaya manipulasi.
Hal itu seperti yang pernah terjadi di Indiana Amerika Serikat, di mana seorang pria berhasil melatih para pelamar kerja Federal untuk berbohong selama ujian poligraf.
Seperti disebutkan sebelumnya, alat ini digunakan dalam berbagai kepentingan termasuk untuk seleksi tertentu.
Selain itu, pria ini pun mengajarkan cara agar lolos dari alat pendeteksi kebohongan kepada para pelaku kejahatan seks.
Melansir justice.gov (6/9/2013), seorang pria bernama Chad Dixon (34) asal Marion, Indiana, dijatuhi hukuman delapan bulan penjara diikuti tiga tahun masa pembebasan yang diawasi, dan diperintahkan untuk kehilangan $17.091,07 atas perannya dalam skema untuk menipu pemerintah federal.
Menurut dokumen pengadilan, Dixon mengoperasikan bisnis berbasis Internet yang melatih pelanggan cara "mengalahkan" pemeriksaan poligraf yang dilakukan oleh berbagai lembaga pemerintah federal, termasuk dalam komunitas intelijen.
Pria itu mengajarkan bagaimana cara mengatasi poligraf fisik dan mental agar menghasilkan poligraf yang 'benar', bahkan jika orang yang melakukan tes berbohong.
Dixon menyesuaikan pelatihannya dengan menanyakan setiap pelanggan tujuan pemeriksaan poligraf mereka dan informasi yang ingin mereka sembunyikan dari pemerintah.
Kemudian, mengajari pelanggannya untuk menyembunyikan kesalahan mereka, menolak menerima pelatihan penanggulangan poligraf, dan berbohong selama ujian mereka.
Ia memberikan sesi pelatihan pribadi kepada pelanggannya di seluruh negeri.
Misalnya yang pernah ia latih yaitu dua kontraktor federal yang terkait dengan badan intelijen AS dan badan penegak hukum federal.
Sementara pada dua kesempatan terpisah, Dixon pernah melatih agen penyamaran yang menyamar sebagai pelamar untuk posisi penegakan hukum Agen Interdiksi Udara Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan ("CBP") Amerika Serikat untuk berbohong guna mengalahkan tes poligraf.
Selain dalam urusan seleksi tertentu, Dixon juga mengaku memberikan pelatihan kepada para narapidana, termasuk pelaku kejahatan seks.
Ia mengungkapkan, sebanyak sembilan terpidana pelaku kejahatan seks yang diharuskan mengikuti pemeriksaan poligraf sebagai syarat masa percobaan atau pembebasan bersyarat yang diperintahkan pengadilan pernah dilatihnya.
(*)