Intisari-Online.com – Ritual kematian menjadi bagian penting dari agama Suku Maya.
Suku Maya sangat menghormati kematian, karena mereka diajari untuk takut akan hal itu dan sangat berduka atas kematian.
Suku Maya juga percaya bahwa kematina tertentu lebih mulia daripada yang lain.
Suku Maya adalah orang-orang ritualistik, yang sangat menghormati sifat destruktif dewa-dewa mereka.
Maka tak heran bila mereka memiliki banyak tradisi kematian untuk memperingati orang yang baru saja meninggal dan memuja leluhur yang telah lama meninggal.
Orang yang meninggal karena bunuh diri, pengorbanan, komplikasi melahirkan, dan dalam pertempuran, dianggap akan diangkut langsung ke surga.
Sebelum adanya pengaruh Spanyol, mungkin tidak ada ide umum tentang kehidupan setelah kematian.
Yucatec Maya percaya bahwa ada rute yang berbeda setelah kematian.
Penemuan pot dari makam Pacal menggambarkan leluhur raja-raja Maya yang tumbuh di bumi seperti pohon buah-buahan dan bersama-sama menciptakan kebun buah-buahan.
Suku Maya memiliki beberapa bentuk pemujaan terhadap leluhur.
Mereka membangun berhala yang berisi abu orang mati dan membawakannya makanan pada hari-hari perayaan, bahkan sebuah kuil juga dibangun di atas sebuah guci.
Pada mereka yang dikorbankan, cara yang paling umum adalah memotong perut, dan mengambil jantung.
Mayat orang Maya dikuburkan dengan jagung ditempatkan di mulut mereka.
Jagung, sangat penting dalam budaya Maya, merupakan simbol kelahiran kembali dan merupakan makanan bagi orang mati untuk perjalanan ke dunia lain.
Juga, batu giok atau manik-manik batu yang ditempatkan di mulut berfungsi sebagai mata uang untuk perjalanan ini.
Sering kali, peluit yang diukir dari batu menjadi bentuk dewa atau binatang juga dimasukkan dalam persembahan kuburan untuk membantu almarhum menemukan jalan mereka ke Xibalba.
Suku Maya menghubungkan warna merah dengan kematian dan kelahiran kembali dan serin gmenutupi kuburan dan sisa-sisa kerangka dengan cinnabar.
Mayat orang mati dibungkus dengan mantel kapas sebelum dikuburkan.
Situs pemakaman berorientasi untuk menyediakan kases ke dunia lain, dengan kuburan menghadap ke utara atau barat, ke arah surga Maya, dengan yang lain terletak di gua-gua, pintu masuk ke dunia bawah.
Namun, praktik penguburan Suku Maya berubah dari waktu ke waktu.
Pada periode Praklasik akhir, orang Maya dikuburkan dalam posisi tertekuk, kemduian orang mati dibaringkan dalam posisi memanjang.
Lalu pada akhir periode Klasik, para elite membangun makam berkubah, dan beberapa penguasa memerintahkan pembangunan kompleks pemakaman besar.
Sedang pada periode Postklasik, kremasi lebih umum dilakukan.
Suku Maya percaya bahwa jiwa terikat pada tubuh saat lahir, maka hanya kematian atau penyakit yang dapat memisahkan tubuh dan jiwa, dengan kematian sebagai perpisahan tetap.
Bagi mereka, ada kehdiupan setelah kematian yang dicapai jiwa setelah kematian.
Maka, mereka percaya leluhur yang telah meninggal masih dapat menghubungi keturunannya, menjawab nasihat ketika ditanya.
Kontak ini digunakan pada waktu-waktu tertentu di musim, atau ketika masalah keluarga tertentu berkaitan dengan leluhur, melansir religion fandom.
Memahami pandangan tentang apa yang dilakukan almarhum di akhirat, maka mereka memberikan gagasan tentang ritual apa yang perlu dilakukan dan jenis barang ap ayang harus dikubur agar berhasil menavigasi akhirat.
Suku Maya juga percaya akan adanya aspek reinkarnasi.
Popol Vuh yang ditulis oleh K’iche’ Maya menceritakan kisah reinkarnasi dewa Jagung, yang membuat orang Maya percaya adalah keturunan dari orang jagung yang diciptakan dewa ini.
Dalam kisah yang ditulis itu, dewa jagung mundur ke dunia bawah dan dengan dua pahlawan kembar bertarung melawan monster dan penguasa tempat itu, kembali ke dunia tanah.
Dia terlahir kembali, mati, dan siklus itu terus berlanjut.
Diyakini oleh bangsa Maya bahwa Bumi itu sendiri adalah makhluk hidup.
Karena mereka berasal dari jagung, maka mengonsumsi jagung atau berhubungan intim akan membawa seseorang lebih dekat ke Bumi.
Konsep akhirat, atau Xibalba, berbeda antara kelompok etnis Maya.
Banyak yang percaya bahwa semua jiwa pergi ke alam baka, bereinkarnasi atau memiliki peran lain untuk berpartisipasi setelah kematian, tetapi ini berubah setelah munculnya agama Kristen.
Muncullah ide Xibalba sebagai lokasi hukuman, semakin lama dihabiskan di Xibalba, maka semakin buruk kehidupan yang mereka jalani saat hidup.
Dengan keyakinan ini, maka surga menjadi tempat yang diperjuangkan banyak orang.
Pada etnis Awakateko, percaya bahwa akhirat adalah tempat di mana semua leluhur tetap, dan tidak ada tempat untuk diteruskan.
Sedangkan bagi etnis Chuj, setiap kontrak yang dibuat dengan orang mati bersifat mengikat, jika tidak mengikutinya maka leluhur mereka dapat mengganggu orang yang terikat kontrak dengan penyakit atau kemalangan.
Mereka percaya bahwa mereka dapat menghubungi leluhur mereka di altar, gua, atau tempat-tempat yang berhubungan dengan masyarakat Maya.
Ada kelompok etnis lain yang percaya bahwa barang-barang ritual diperlukan untuk melakukan perjalanan ke alam baka.
Lakandon mengubur orang-orang mereka menghadap matahari dan dibungkus dengan tunik dan tempat tidur gantung.
Q’eqchi’ menguburkan jenazah di tikar tidur jerami, dengan topi, sandal, dan jaring yang disediakan untuk membantu dalam perjalanan menuju akhirat.
Di tempat lain, diyakini seekor anjing dibutuhkan untuk membantu melakukan perjalanan ke alam baka, sehingga anjing dikorbankan secara ritual, atau patung anjing dikuburkan bersama dengan almarhum.
Biasanya, barang-barang yang dikubur bersama orang yang meninggal adalah apa yang menurut suku itu diperlukan untuk menyelesaikan tugas seseorang ke akhirat, apakah itu akhirat, surga, atau reinkarnasi.
Kelompok etnis lain percaya bahwa arwah orang mati masih memiliki tugas untuk diselesaikan di akhirat, yang berpikir bahwa orang mati hidup di dalam gunung berapi dan tempat lain.
Bagi Tz’utujil, arwah orang mati mungkin bereinkarnasi atau pergi untuk membantu menggerakkan matahari melintasi langit.
Etnis Tz’utujil di Santiago takut jika korban tenggelam menghuni dasar Danau Atitlan.
Banyak kelompok etnis juga mengamati perayaan leluhur mereka yang telah meninggal di kemudian hari.
Etnis Poqomam berkumpul setelah kematian dan mengadakan pesta yang berlangsung selama sembilan hari, kemudian berdoa untuk orang yang meninggal setiap hari selama tujuh tahun berikutnya.
Etnis Tzotzil dari Chamula juga memiliki hari libur untuk merayakan kematian, meskipun hari libur terjadi setiap tahun.
Keyakinan mereka adalah jiwa-jiwa kembali mengunjungi dan makan setahun sekali dalam perayaan yang disebut K’in Santo.
Anggota keluarga melakukan ritual kepada para dewa untuk meminta pembebasan arwah kerabat yang telah meninggal dan mengizinkan mereka masuk ke dalam rumah.
Banyak penemuan arkeologi makam mewah di dalam kompleks upacara dari periode Klasik, namun hanya penguasa terpenting kota Maya yang dimakamkan dengan cara ini.
Para bangsawan itu ditempatkan di kuburan di dasar piramida pemakaman yang terdiri dari sembilan platform bertingkat, mungkin melambangkan sembilan lapisan dunia bawah.
Kuil lain dibangun dengan 13 kubah yang melambangkan lapisan langit dalam kosmologi Maya, yang mencerminkan pemujaan berkelanjutkan dari para bangsawan ini.
Dalam beberapa kasus, bahkan anggota keluarga kerajaan atau pelayan muda dikorbankan untuk menemani sang raja dalam kematian.
Makam mereka dipenuhi dengan barang-barnag berharga termasuk tembikar polikrom halus, patung-patung, potongan batu giok dan marmer, topeng, figur jamur.
Di Makam Ratu Merah di dalam Kuil XIII di Palenque, sisa-sisa seorang wanita bangsawan dan semua benda di dalam sarkofagus ditutupi dengan debu merah terang, terbuat dari cinnabar tanah, yang dimaksudkan menunjukkan darah, simbol kehidupan.
Anggota elite masyarakat lain dimakamkan di brankas, dengan anggota masyarakat lain berpangkat lebih tinggi dimakamkan di dalam sarkofagus.
Mereka kadnag dimakamkan di ruang bawah tanah atau di bawah rumah keluarga.
Rakyat jelata juga dimakamkan di dekat atau di bawah rumah mereka, namun tidak memiliki persembahan penguburan yang mewah, tetapi sering berisi benda yang mengidentifikasi individu, seperti alat atau kepemilikan.
Temukan sisi inspiratif Indonesia dengan mengungkap kembali kejeniusan Nusantara melalui topik histori, biografi dan tradisi yang hadir setiap bulannya melalui majalah Intisari. Cara berlangganan via https://bit.ly/MajalahIntisari