Intisari-Online.com - Memakan waktu hingga sebulan untuk munculnya tersangka utama dalam kasus tewasnya Brigadir J di rumah Irjen Ferdy Sambo.
Seperti banyak diketahui, peristiwa tewasnya Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat terjadi pada 8 Juli 2022.
Kemudian, adanya penetapan tersangka dimulai sejak 3 Agustus 2022 dengan Bharada E menjadi tersangka pertama yang diumumkan.
Disusul Ferdy Sambo pada 9 Agustus 2022 sebagai tersangka utama yang berperan menyuruh penembakan terhadap Brigadir J.
Bersama dengan Ferdy Sambo, ditetapkan pula status tersangka terhadap 2 orang lainnya, yaitu Bripka RR atau Bripka Rizky Rizal dan KM atau Kuat Ma'ruf,
Terbaru, pada Jumat (19/8/2022), giliran istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, yang ditetapkan sebagai tersangka setelah pemeriksaan mendalam dengan scientific crime investigation.
Baik Putri maupun empat tersangka lain, dijerat dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Dengan ini, para tersangka terancam hukuman maksimal hukuman mati.
Sejauh ini telah ditetapkan lima tersangka, namun dalam pengungkapannya tampak melewati proses yang 'alot'.
Bahkan, terungkap puluhan polisi terlibat dalam upaya menghalangi penyelidikan kasus ini.
Hingga kini sebanyak 63 polisi telah diperiksa, dengan 36 di antaranya diduga melanggar etik terkait upaya menghalangi proses penyidikan kasus pembunuhan Brigadir J.
Angka tersebut bertambah 5 orang, di mana sebelumnya ada 31 orang polisi yang disebut melanggar kode etik.
Terkait banyaknya hambatan dalam proses penyelidikan kasus pembunuhan Brigadir J, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan bagaimana pengaruh Ferdy Sambo di dalam institusi polri.
Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD dalam Youtube Akbar Faisal, Rabu (17/8/2022), bahwa ada Kerajaan Ferdy Sambo di dalam institusi polri.
Menurut Mahfud MD, kerajaan Ferdy Sambo itu seperti Sub-Mabes dan sangat berkuasa di institusi Polri.
Sehingga, saat kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat diselidiki banyak sekali hambatan-hambatannya.
“Yang jelas ada hambatan hambatan di dalam secara struktural ya karena ini tidak bisa dipungkiri, ini ada kelompok Sambo sendiri nih yang seperti menjadi kerajaan Polri sendiri di dalamnya, seperti Sub-Mabes yang berkuasa.”
“Dan ini yang menghalang-halangi sebenarnya, kelompok ini yang jumlahnya 31 orang itu, yang sekarang udah ditahan.”
Terkait hal tersebut, Mahfud MD mengatakan, telah menyampaikan kepada Kapolri untuk segera menyelesaikan persoalan ini.
“Ya, Saya sudah sampaikan ke Polri dan apa Ini harus selesaikan,” ujarnya.
Mahfud MD pun menjelaskan bahwa ada 3 klaster dalam kasus pembunuhan Brogadir J dengan tersangka utama Ferdy Sambo.
Sementara menurutnya, dari ketiga klaster tersebut, ada dua klaster yang harus dipidana.
“Satu, pelaku yang merencanakan dan mengeksekusi langsung, nah ini yang kena tadi pasal pembunuhan berencana karena dia ikut melakukan, ikut merencanakan, dan ikut memberi pengamanan di situ,” ucap Mahfud MD.
Lalu klaster kedua adalah, klaster obstruction of Justice. Pihak-pihak dalam klaster ini tidak ikut dalam eksekusi tewasnya Brigadir J.
“Tetapi karena merasa Sambo, (pihak) ini bekerja nih, bagian obstruction of Justice ini membuang barang ini, membuat rilis palsu dan macam-macam, ini tidak ikut melakukan,” ujar Mahfud MD.
“Nah menurut saya kelompok 1 dan 2 ini tidak bisa kalau tidak dipidana ya, kalau yang ini tadi karena melakukan dan merencanakan, yang obstruction of Justice yang menghalang-halangi penyidikan itu, memberi keterangan palsu, membuang barang, mengganti kunci, mengganti barang bukti, memanipulasi hasil autopsi, nah itu bagian obstruction of Justice.”
Kemudian klaster ketiga ini, lanjut Mahfud MD, adalah orang yang hanya ikut-ikutan.
“Kasihan ini, karena jaga di situ kan, terus di situ ada laporan harus diteruskan, dia teruskan, padahal laporannya ndak bener, prosedur jalan, diperintahkan ke sana jalan, suruh buat ini ngetik, ngetik,” jelas Mahfud.
Menurut Mahfud MD, alih-alih dijerat hukum pidana, klaster ketiga cukup didisplinkan.
“Nah itu bagian yang pelanggaran etik, saya berpikir yang harus dihukum tuh dua kelompok pertama yang kecil-kecil ini, yang hanya ngetik hanya mengantarkan surat, menjelaskan bahwa Bapak tidak ada, memang nggak ada yang begitu, ndak usah hukuman pidana cukup disiplin.”
(*)