Fouad melamar Nazli pada tahun 1919, meskipun dia 25 tahun lebih tua dari calon istrinya itu.
Mereka menikah di Istana al Bustan, dan ini adalah pernikahan kedua bagi mereka berdua (Fouad sebelumnya pernah menikah dengan seorang putri Mesir dari rumah Muhammad Ali Pasha).
Nazli berada di bawah tekanan kuat untuk menghasilkan pewaris takhta, dan dia diizinkan untuk pindah ke istana yang sama dengan suaminya setelah kelahiran putra mereka, Putra Mahkota Farouk.
Tahun-tahun berikutnya, pasangan kerajaan ini memiliki empat putri, yaitu Fawzia, Faiza, Faika, dan Fahiya.
Nazli yang muda, menarik, dan berjiwa bebas dikurung di harem bergaya Ottoman, hanya diizinkan keluar untuk acara-acara tertentu seperti opera dan pertunjukan bunga.
Ratu yang baru berpendidikan tinggi dan modern pada saat itu, memiliki gagasan yang sangat kuat tentang tempat perempuan dalam masyarakat.
Rasa frustasinya dengan pembatasan yang diberlakukan oleh suaminya dan istana dapat dimengerti.
Namun, diduga bahwa Raja Fouad secara fisik melecehkannya, hingga Nazli mencoba bunuh diri, melansir History of Royal Women.
Kematian Raja Fouad pada tahun 1936, membuat putranya Farouk menjadi Raja Mesir yang baru, dan dia menjadi Ibu Suri.
Itu merupakan momen kejayaannya dan apa yang dianggapnya sebagai akhir dari pembatasan dan pengasingannya. Tapi itu tidak bertahan lama.
Perlahan-lahan Raja baru kesal dengan campur tangannya yang terus-menerus dalam urusan negara dan sifatnya yang mengendalikan.
Dugaan perselingkuhan Nazli dengan penasihat Raja, Ahmed Hassanein Pasha, tidak membuat hubungan antara ibu dan anak itu menjadi lebih mudah.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR