Tradisi pemakaman bayi ini disebut passiliran.
Mengapa dipilih pohon tarra?
Pohon tarra menjadi pilihan tidak hanya karena ukurannya yang besar, tetapi juga memiliki getah berlimpah.
Getah ini dipercaya masyarakat Torajat bisa menggantikan air susu ibu untuk bayi yang sudah meninggal itu.
Namun, jika bayi yang meninggal itu sudah tumbuh gigi, maka dia akan dimakamkan di batu dengan dibungkus pakaian putih tanpa peti mati, begitu juga dengan janin akibat keguguran.
Lubang di pohon tarra untuk menaruh jenazah bayi dibuat sedemikian rupa menyerupai dengan rahim.
Lalu, bayi diletakkan di pohon tanpa dibungkus sehelai kain pun dengan posisi meringkuk, setelah itu lubang ditutup dengan ijuk pohon enau.
Lubang yang dibuat di pohon juga mempertimbangkan arah tempat tinggal keluarga, biasanya akan menghadap rumah keluarga si bayi.
Meskipun sudah dilubangi, namun pohon tarra tetap bisa tumbuh dengan baik, dan lubang tempat memakamkan bayi itu akan menutup dengan sendirinya setelah 20 tahun.
Dalam satu pohon tarra tidak hanya diisi satu kuburan bayi, tetapi bisa memuat lebih dari 10 bayi, ini bisa dilihat dari kotak-kotak serupa jendela dari ijuk pada pohon tersebut.
Meski pohon tarra menjadi tempat persemayaman jenazah bayi selama bertahun-tahun, namun Anda tidak akan mencium bau busuk meski lubang pohon itu hanya ditutup ijuk bila Anda mengujungi Desa Kambira.
Pohon tarra yang besar itu tak akan pernah kehabisan tempat menjadi kuburan baru untuk bayi, membuat masyarakat Torajat tak perlu kesulitan untuk memakamkan bayi mereka.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR