Intisari-online.com - Lalla Aicha binti Ali bin Rashid al Alami lebih dikenal dalam sejarah sebagai Sayyida al Hurra (1485-1561).
Dalam bahasa Arab berarti "wanita bangsawan bebas".
Dia dilahirkan dalam keluarga Muslim terkemuka di Granada, tetapi ketika kerajaan itu jatuh ke tangan Reconquista Spanyol pada tahun 1492, keluarganya melarikan diri ke Maroko.
Sultan Maroko memberikan Sayyida dan suaminya, dan pengikut pengungsi Reconquista mereka, reruntuhan Tetouan, sebuah kota yang dihancurkan oleh orang Spanyol.
Pasangan dan pengikut mereka membangun kembali dan memulihkan Tetouan.
Setelah kematian suaminya pada tahun 1515, Sayyida menjadi ratunya, ratu terakhir dalam sejarah Islam yang memerintah secara independen.
Selain menguasai Tetouan, Sayyida juga seorang ratu bajak laut yang meneror perairan wilayah tersebut.
Anehnya catatan Islam diam tentang dirinya, tapi dia adalah seorang wanita tangguh dan sosok yang kuat pada zaman itu.
Bahkan Sayyida memperbudak orang-orang Kristen yang pernah menjajah tanahnya dengan menyedihkan.
Ia kemudian mendapat reputasi monster dan menjadi ratu bajak laut yang memikat dan menakutkan sepanjang sejarah.
Setelah bertahun-tahun menjanda, Sayyida menikahi sultan Maroko.
Namun, dia bertekad untuk menekankan kemandiriannya dan menunjukkan bahwa dia tidak akan menyerahkan kekuasaan dan posisinya.
Jadi dia menolak untuk meninggalkan Tetouan untuk pernikahan.
Sultan harus datang kepadanya, satu-satunya waktu dalam sejarah Maroko di mana seorang sultan menikah di luar ibu kotanya.
Sayyida menunjukkan kepada dunia bahwa ia memiliki kapasitas untuk berkuasa.
Ia bahkan mempelopori aliansi yang mendorong umat Islam untuk bersatu melawan kolonisasi Eropa di Maroko.
Sementara itu, orang Eropa melihat Sayyida dan para perompak sebagai seorang pencuri dan pembunuh.
Namun Ottoman memandang mereka sebagai "pejuang kemerdekaan yang berdiri di garis depan."
Sayyida membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin bajak laut yang tak terbantahkan di Mediterania Barat.
Namun, seperti pada umunya seorang penguasa, Sayyida juga tidak lepas dari uang dan permainan politik.
Kebesaran namanya pun harus tumbang ditangan menantu laki-lakinya sendiri yang melakukan kudeta pada 1542.
Sejak saat itu, Sayyida kembali ke kampung halamannya di Chefchaouen hingga meninggal dengan tenang pada 1561.