Intisari-online.com - Parlemen Indonesia pada Kamis (30/6) mengesahkan undang-undang untuk membentuk tiga provinsi baru di wilayah terbelakangnya di Papua.
Sebuah langkah yang dikhawatirkan oleh para kritikus dapat merusak posisi penduduk asli di daerah itu dan mengancam kekuatan otonomi khusus.
Wilayah paling timur negara Asia Tenggara itu, yang saat ini terbelah antara Papua dan Papua Barat.
Kini akan dibagi menjadi lima provinsi, dengan tambahan Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Dataran Tinggi.
Pemerintah mengatakan keputusan itu akan membantu memacu pembangunan, meningkatkan pelayanan publik.
Juga menciptakan lebih banyak kesempatan bagi orang Papua untuk menjadi pegawai negeri di daerah kaya sumber daya yang tetap menjadi salah satu daerah termiskin di negara itu.
Tito Karnavian, Menteri Dalam Negeri Indonesia, mengatakan setelah pemungutan suara bahwa tujuan utama dari undang-undang tersebut adalah "untuk mempercepat pembangunan di Papua untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Papua, terutama orang asli Papua."
Tetapi rencana tersebut telah memicu protes di Papua, yang telah mengalami konflik kemerdekaan tingkat rendah sejak pemungutan suara yang diawasi PBB tahun 1969 yang disengketakan membawa Papua di bawah kendali Indonesia.
Kritikus khawatir itu bisa merebut lebih banyak kekuatan dari daerah yang merupakan rumah bagi beberapa simpanan emas dan tembaga terbesar di dunia.
"Dengan mengiris dan membagi Papua menjadi unit-unit administratif yang lebih kecil, Jakarta berharap untuk membagi dan menaklukkan identitas dan perlawanan Papua," kata Veronica Koman, seorang pengacara hak asasi manusia Indonesia di Amnesty International Australia, yang melihat peningkatan risiko militerisasi dan bentrokan kekerasan.
Dalam sebuah wawancara dengan Reuters pada bulan April, ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib.
Mengatakan undang-undang tersebut akan menyebabkan masuknya orang-orang non-pribumi Papua ke pos-pos pemerintahan baru dan dibawa masuk tanpa konsultasi yang memadai, sebuah tuduhan yang telah dibantah oleh pemerintah.
Perubahan undang-undang otonomi khusus Papua tahun lalu memungkinkan pemerintah pusat untuk membuat provinsi-provinsi baru.
Mendorong MRP untuk mengklaim perubahan itu merusak otonomi dan mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Konstitusi.
Kementerian Dalam Negeri Indonesia mengatakan pemerintah akan mematuhi putusan pengadilan.