Pertanyaan Bung Karno terus berlanjut. "Apakah kau memiliki tanah ini bersama orang lain?" "O, tidak, gan. Saya sendiri yang punya."
"Tanah ini kau beli?" "Tidak. Ini warisan bapak kepada anak turun-temurun."
Ketika petani itu terus menggali, Bung Karno pun mulai menggali pikirannya.
Pikirannya mulai bekerja. Ia memikirkan teorinya. Dan semakin keras ia berpikir, semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya.
"Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apakah kepunyaanmu juga?" "Iya, gan." "Dan cangkul?." "Iya, gan." "Bajak?" "Saya punya, gan."
"Untuk siapa hasil yang kau kerjakan?" "Untuk saya, gan." "Apakah cukup untuk kebutuhanmu?" Ia mengangkat bahu sebagai membela diri.
"Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk istri dan empat orang anak?" "Apakah ini da yang dijual dari hasilmu?"
"Hasilnya sekadar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual."
"Kau mempekerjakan orang lain?" "Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya."
"Apakah engkau pernah memburuh?" "Tidak, gan. Saya harus membanting-tulang, akan tetapi jerih payah semua untuk saya."
Bung Karno pun menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanya, Marhaen.
Dari pertemuan dan percakapan Bung Karno dengan petani bernama Marhaen itu Bung Karno diceritakan mendapatkan pencerahan.
"Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia! Semenjak itu kunamakan rakyatku Marhaen," kata Soekarno sebagaimana ia ceritakan dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams.
Maka, 'marhaenis' digunakan untuk menyebut orang yang mempunyai alat-alat yang kecil, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri.
Kisah pertemuan Bung Karno dengan seorang petani bernama Marhaen, seperti yang gambarnya terdapat pada relief sejarah di Gedung Sarinah, menjadi kisah di balik nama Marhaenisme.
Marhaenisme sendiri merupakan ideologi yang kemudian menjadi landasan tempat pergerakan Soekarno berdiri.
(*)
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR