Advertorial
Intisari-Online.com - Kembali dipajangnya salah satu relief sejarah yang terkenal di masa pemerintahan Presiden Pertama Soekarno, di Gedung Sarinah, membuat Megawati Soekarnoputri terkesima.
Hal itu diungkapkan Megawati pada Senin (13/6/2022), di Sarinah jakarta.
Ketua Umum PDI-P tersebut juga menjelaskan menganai relief sejarah yang dipampang di lantai dasar gedung di kawasan Jakarta Pusat tersebut.
Rupanya, gambar dalam relief itu adalah seorang petani dari Jawa Barat bernama Marhaen.
"Relief itu sepertinya tanda kutip 'disembunyikan'. Tapi akhirnya Alhamdulillah dapat dikembalikan," kata Megawati.
Ia mengatakan bahwa Marhaen adalah nama seorang petani yang ditemukan oleh Bung Karno di Jawa Barat, namun kerap dikonotasikan berbeda.
"Kenapa orang suka salah, kalau dengar Marhaen, lalu konotasinya menjadi berbeda," katanya.
Megawati menuturkan, relief itu dibuat oleh sejumlah seniman. Namun, Megawati sendiri mengaku tak tahu persis siapa nama pemahatnya.
Baca Juga: Siapa Saja Tokoh yang Mempelopori Kebangkitan Nasional di Indonesia?
Kisah mengenai pertemuan Presiden pertama Indonesia dengan petani bernama Marhaen juga diceritakan dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams.
Diceritakan bahwa Marhaen adalah seorang petani yang ditemui Soekarno kala melakukan pengamatan pada pekerja kecil yang berada di lingkungan sekitarnya.
Soekarno melihat para pekerja yang tidak terikat pada siapa pun dan menjadi majikan mereka sendiri.
Misalnya seseorang yang menjadi kusir gerobak kudanya, dia menjadi pemilik dari kuda dan gerobak itu dan dia tidak mempekerjakan buruh lain.
Selain itu, nelayan yang bekerja sendiri dengan alat-alat seperti tongkat-kali, kailnya dan perahu kepunyaan sendiri.
Begitu pun para petani yang menjadi pemilik tunggal dari sawahnya dan pemakai tunggal dari hasilnya.
Menurut Bung Karno, orang-orang semacam itu meliputi bagian terbanyak dari rakyat. Namun, mereka bukanlah rakyat proletar seperti yang disebut para aktivitis komunis saat itu. Pasalnya, semua menjadi pemilik dari alat produksi mereka sendiri. Mereka punya sifat khas tersendiri.
Belum memiliki nama untuk hal tersebut, kemudian Bung Karno merenungkannya berhari-hari. Saat itulah ia bertemu dengan petani bernama Marhaen.
Bolos kuliah seraya bersepeda tanpa tujuan berkeliling Bandung, tibalah Bung Karno di Bagian Selatan Kota Bandung. Ia berhenti mengayuh dan perhatiannya tertuju pada seorang petani berbaju lusuh yang sedang mencangkul sendirian di sebuah petak sawah.
Setelah mengamatinya sejenak, Bung Karno mengajaknya bercakap-cakap. Lalu, ia bertanya dengan bahasa Sunda.
"Siapa yang punya semua yang engkau kerjakan ini?," tanya Soekarno. "Saya, juragan," jawab orang itu.
Pertanyaan Bung Karno terus berlanjut. "Apakah kau memiliki tanah ini bersama orang lain?" "O, tidak, gan. Saya sendiri yang punya."
"Tanah ini kau beli?" "Tidak. Ini warisan bapak kepada anak turun-temurun."
Ketika petani itu terus menggali, Bung Karno pun mulai menggali pikirannya. Pikirannya mulai bekerja. Ia memikirkan teorinya. Dan semakin keras ia berpikir, semakin banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya.
"Bagaimana dengan sekopmu? Sekop ini kecil, tapi apakah kepunyaanmu juga?" "Iya, gan." "Dan cangkul?." "Iya, gan." "Bajak?" "Saya punya, gan."
"Untuk siapa hasil yang kau kerjakan?" "Untuk saya, gan." "Apakah cukup untuk kebutuhanmu?" Ia mengangkat bahu sebagai membela diri.
"Bagaimana sawah yang begini kecil bisa cukup untuk istri dan empat orang anak?" "Apakah ini da yang dijual dari hasilmu?"
"Hasilnya sekadar cukup untuk makan kami. Tidak ada lebihnya untuk dijual."
"Kau mempekerjakan orang lain?" "Tidak, juragan. Saya tidak dapat membayarnya." "Apakah engkau pernah memburuh?" "Tidak, gan. Saya harus membanting-tulang, akan tetapi jerih payah semua untuk saya."
Bung Karno pun menanyakan nama petani muda itu. Ia menyebut namanya, Marhaen.
Dari pertemuan dan percakapan Bung Karno dengan petani bernama Marhaen itu Bung Karno diceritakan mendapatkan pencerahan.
"Di saat itu cahaya ilham melintas di otakku. Aku akan memakai nama itu untuk menamai semua orang Indonesia yang bernasib malang seperti dia! Semenjak itu kunamakan rakyatku Marhaen," kata Soekarno sebagaimana ia ceritakan dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams.
Maka, 'marhaenis' digunakan untuk menyebut orang yang mempunyai alat-alat yang kecil, orang kecil dengan milik kecil, dengan alat-alat kecil, sekadar cukup untuk dirinya sendiri.
Kisah pertemuan Bung Karno dengan seorang petani bernama Marhaen, seperti yang gambarnya terdapat pada relief sejarah di Gedung Sarinah, menjadi kisah di balik nama Marhaenisme.
Marhaenisme sendiri merupakan ideologi yang kemudian menjadi landasan tempat pergerakan Soekarno berdiri.
(*)