Intisari-Online.com -Melakukan ibadah haji merupakan hal yang wajib untuk dilakukan bagi setiap umat Muslim yang mampu, setidaknya sekali dalam seumur hidup.
Bagi setiap umat Muslim di Indonesia yang sudah selesai berkunjung ke Padang Arafah, Mekah, mereka akan mendapat gelar haji di depan nama mereka.
Pemberian gelar haji ini cukup berbeda, karena hanya ada di Tanah Air.
Di luar negeri, seperti Arab Saudi dan negara Muslim lainnya tidak mengenal gelar tersebut.
Gelar Haji sendiri mulai digunakan di Indonesia sejak zaman kolonial Belanda.
Guru Besar bidang Ilmu Sejarah Peradaban Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, Syamsul Bakri, membenarkan penyematan gelar Haji hanya ada di Indonesia.
"Itu khas Indonesia, tidak ada di negara lain. Buktinya di Timur Tengah tidak ada gelar Haji, orang Barat juga tidak bergelar Haji walaupun sudah haji," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Jumat (10/6/2022).
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama UIN Raden Mas Said ini juga membenarkan asal gelar Haji dari pemerintah Hindia Belanda.
Dahulu, orang-orang pribumi yang menunaikan ibadah haji diduga terpapar paham Pan-Islamisme, salah satu paham pemberontak kolonialisme selain komunis.
Syamsul menjelaskan, ada dua paham lawan kolonialisme pada saat itu, yakni kelompok kiri yang dikenal dengan komunis, serta Pan-Islamisme.
Penyematan gelar haji Pan-Islamisme mengajarkan bahwa umat Islam di seluruh dunia harus bersatu untuk dapat terbebas dari kolonialisme dan imperialisme bangsa Barat.
Paham ini, bersumber dan menyebar dari Tanah Suci, tempat Muslim menggelar ibadah haji.
"Dulu orang haji tidak seminggu sebulan, bahkan bertahun-tahun, karena di sana sambil ngaji, sambil bekerja, macam-macam, dan ada interaksi orang yang berhaji dari berbagai negara," tutur Syamsul.
Menguatnya paham Pan-Islamisme kala itu, hingga pemerintah kolonial yang takut akhirnya menyematkan gelar Haji sebagai penanda.
"Maka orang-orang yang sepulang haji ditandai dan diberi gelar Haji oleh pemerintah kolonial, menyatu dengan namanya," jelas Syamsul.
Ia menegaskan, gelar Haji pemberian Belanda juga bukan merupakan gelar penghormatan.
Melainkan, untuk berjaga-jaga jika mereka mempengaruhi masyarakat untuk melakukan kritik dan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial.
Mulai awal abad ke-20 Hal serupa dijelaskan pula oleh sejarawan dan pendiri Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali dalam unggahan TikTok sebagaimana dikonfirmasi Kompas.com pada Jumat (10/6/2022).
Asep menuturkan, gelar Haji merupakan salah satu upaya untuk mengendalikan penyebaran paham Pan-Islamisme dari ibadah haji yang merebak pada awal abad ke-20.
"Salah satunya sejak 1916, pemerintah Belanda menyematkan gelar Haji di depan nama setiap penduduk muslim yang ada di Hindi Belanda dengan maksud agar mudah diawasi," jelas dia.
Kala itu, semangat kemerdekaan terus digaungkan oleh tokoh Islam, terutama mereka yang telah kembali dari ibadah haji.
Maka dapat disimpulkan, imbuh Asep, gelar Haji adalah gelar pemberontak yang diberikan penjajah kepada penduduk Indonesia saat itu.
Asep mencontohkan beberapa tokoh yang sukses menyuarakan perlawanan kolonialisme usai beribadah haji.
Di antaranya, KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah pada 1912, KH Hasyim Asyari pendiri Nahdlatul Ulama (NU) pada 1926, KH Samanhudi pendiri Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 1905, dan HOS Cokroaminoto pendiri Sarekat Islam (SI) 1912.
Namun, seiring berkembangnya zaman, saat ini gelar haji kerap dijadikan sebagai penanda kelas sosial-ekonomi.
(*)