Perang Sampai Berlangsung hingga 3 Bulan, Siapa Sangka Rusia Hanya Minta Syarat Sepele Ini Jika Ingin Berdamai, Namun Mengapa Ukraina Tidak Sanggup Memenuhinya?

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

Presiden Rusia Vladimir Putin.
Presiden Rusia Vladimir Putin.

Intisari-Online.com - Pekan ini, Perang antara Rusia dan Ukraina sudah bulan ke-3 sejak invasi tanggal 24 Februari 2022.

Dalam artikel yang diterbitkanNew York Timespada Selasa (31/5/2022), Biden mengatakan bahwa invasi Rusia ke Ukraina akan berakhir melalui diplomasi.

Namun, lanjut Biden, AS harus menyediakan senjata dan amunisi yang signifikan guna memberi Ukraina pengaruh yang besar di meja perundingan.

“Itulah mengapa, saya memutuskan bahwa kami akan memberi Ukraina sistem roket dan amunisi yang lebih canggih yang akan memungkinkan mereka untuk lebih tepat menyerang sasaran utama di medan perang di Ukraina,” ucap Biden.

Meski begitu,Rusia merespons negatif keputusan AS yang akan memasok Ukraina dengan sistem roket dan amunisi canggih.

Respons tersebut diutarakan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov kepada kantor berita negara RIA Novosti, Rabu (1/6/2022).

Ryabkov mengatakan, Moskwa memandang bantuan militer AS ke Ukraina tersebut sangat negatif, sebagaimana dilansir Reuters.

Dia menambahkan bahwa pengiriman sistem roket dan amunisi canggih dari AS ke Ukraina itu akan meningkatkan risiko konfrontasi langsung.

Melansir RT.com, Rabu (1/6/2022), serangan militer Moskow di Ukraina bisa berakhir jika Kiev setuju untuk bernegosiasi, kata kepala Komite Pertahanan Duma Negara Rusia Andrey Kartapolov pada Rabu.

Operasi "akan berkembang sesuai dengan rencana, dan, saya pikir, akan berakhir ketika kepemimpinan Ukraina saat ini 'matang' untuk negosiasi," kata Kartapolov dalam sebuah wawancara dengan kantor berita RIA Novosti.

Dia mengatakan situasi di lapangan telah berubah dan pasukan Kiev mulai pecah.

Pembicaraan tatap muka terakhir antara kedua negara berlangsung pada 29 Maret di Istanbul.

Pada waktu itu, Kiev mengusulkan untuk menandatangani perjanjian internasional tentang jaminan keamanan untuk Ukraina.

Hal itu dilakukan sebagai imbalan untuk menyetujui status netral yang telah dituntut Rusia sejak sebelum konflik dimulai.

Namun, pembicaraan berujung buntu dan kedua belah pihak terus saling menyalahkan atas kurangnya kemajuan bernegosiasi.

Pada hari Senin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengundang Moskow dan Kiev untuk mengadakan putaran baru pembicaraan di Istanbul.

Presiden Erdogan menyatakan kesiapan Turki, jika pada prinsipnya disepakati oleh kedua belah pihak, untuk bertemu dengan Rusia, Ukraina dan PBB di Istanbul.

Baca Juga: Jadi Sosok Paling Alot untuk Berdamai dengan Rusia, Terungkap Alasan Negeri Tirai Besi Disebut Tak Bisa Percaya dengan Presiden Ukraina, Diduga Punya Rencana Licik Ini pada Rusia

(*)

Artikel Terkait