Intisari-Online.com -Presiden AS Joe Biden setuju untuk memberi Ukraina sistem roket canggih sebagai bagian dari paket senjata senilai 700 juta dollar AS.
Sistem roket canggih tersebut diklaim dapat menyerang sasaran jarak jauh dengan presisi.
AS memberi Ukraina roket tersebut setelah Kyiv memberikan jaminan bahwa mereka tidak akan menggunakan senjata itu untuk menyerang di dalam wilayah Rusia.
Dalam artikel yang diterbitkan New York Times pada Selasa (31/5/2022), Biden mengatakan bahwa invasi Rusia ke Ukraina akan berakhir melalui diplomasi.
Namun, lanjut Biden, AS harus menyediakan senjata dan amunisi yang signifikan guna memberi Ukraina pengaruh yang besar di meja perundingan.
“Itulah mengapa, saya memutuskan bahwa kami akan memberi Ukraina sistem roket dan amunisi yang lebih canggih yang akan memungkinkan mereka untuk lebih tepat menyerang sasaran utama di medan perang di Ukraina,” ucap Biden.
Meski begitu,Rusia merespons negatif keputusan AS yang akan memasok Ukraina dengan sistem roket dan amunisi canggih.
Respons tersebut diutarakan Wakil Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Ryabkov kepada kantor berita negara RIA Novosti, Rabu (1/6/2022).
Ryabkov mengatakan, Moskwa memandang bantuan militer AS ke Ukraina tersebut sangat negatif, sebagaimana dilansir Reuters.
Dia menambahkan bahwa pengiriman sistem roket dan amunisi canggih dari AS ke Ukraina itu akan meningkatkan risiko konfrontasi langsung.
Sebelumnya, sebagaimana diwartakan Kompas.com, Ketua Dewan Federasi atau Majelis Tinggi Parlemen Rusia, Valentina Matviyenko, menyatakan Rusia terbuka untuk pembicaraan dengan Ukraina dan menandatangani perjanjian yang akan mengarah pada perdamaian.
Matviyenko berkata demikian pada Selasa (31/5/2022), dalam pertemuan dengan Presiden Mozambik Filipe Nyusi.
Delegasi Dewan Federasi yang dipimpin oleh Matviyenko sedang melakukan kunjungan resmi ke Mozambik dari Senin (30/5/2022) hingga Rabu (1/6/2022) ini.
"Kami terbuka untuk pembicaraan. Saya benar-benar setuju dengan posisi Anda bahwa solusi diplomatik dan damai diperlukan."
"Tetapi, kemauan untuk itu diperlukan di kedua belah pihak. Kami tegaskan kembali bahwa kami siap untuk pembicaraan, untuk menandatangani perjanjian yang akan menghentikan sipil berada di Ukraina dan mengarah pada perdamaian,” ungkap dia, dikutip dari Kantor Berita Rusia, TASS.
Namun, kata Matviyenko, Rusia tidak melihat reaksi dari Kyiv untuk menyambut perjanjian perdamaian itu.
Lebih lanjut, Matviyenko menuding, Rusia dan Ukraina pernah hampir menandatangani perjanjian damai, tetapi kekuatan eksternal yang mengendalikan Kiev tidak merestuinya.
"Ngomong-ngomong, kami secara bersamaan pernah merundingkan perjanjian damai dengan Ukraina. Kami menarik pasukan dari Kyiv, Kharkov, dan perjanjian yang dapat diterima untuk Ukraina dan Rusia praktis sudah siap," ungkap dia.
"Istilah kuncinya adalah bahwa Ukraina akan tetap menjadi negara netral di luar blok, seperti Austria misalnya, bahwa itu akan menjadi negara non-nuklir."
"Tapi, sayangnya, mereka yang melakukan kontrol eksternal tidak membiarkan menandatangani perjanjian ini," tuding Matviyenko.
(*)