Dua penanda
Dalam perkembangan kemudian, kita bisa menandai perkampungan Islam di Bali dengan dua hal: langgar atau masjid dan makam keramat. Karena terpengaruh budaya Bali, langgar umumnya memiliki karakter arsitektur yang berbeda dengan langgar atau masjid pada umumnya saat ini. Misalnya, langgar di Dusun Saren, Budakeling, memiliki arsitektur dengan model atap bersusun. Demikian pula dengan langgar yang dibangun di atas lahan pemberian Raja Karangasem seluas 4,5 hektare. Langgar ini adalah langgar tertua di Bali Timur dan masih dipertahankan keasliannya. Arsitektur langgar ini berbentuk layaknya Masjid Ampel, Surabaya, Jawa Timur. Ia memiliki empat pilar sebagai soko guru ‘pilar utama’ yang menopang atap bersusun dua. Pada sisi-sisi langgar terdapat tiga pintu masuk terbuat dari kayu asli berusia ratusan tahun. Sementara di dalamnya, ada 12 pilar pendukung soko guru.
Seiring waktu langgar berubah menjadi masjid. Meskipun masih menggunakan ornamen Bali, gaya arsitektur langgar dengan atap bersusun seperti Meru tidak lagi digunakan. Masjid-masjid baru yang dibangun di kampung Islam menggunakan kubah dan menara. Persis dengan arsitektur masjid kebanyakan.
Ciri kedua dari kampung Islam di Bali adalah makam keramat. Di Kampung Islam Serangan terdapat sebuah kuburan Bugis Kuno yang saat ini khusus digunakan untuk mengubur warga Kampung Islam Bugis. Di makam ini, Syeikh Haji Mu beserta pengikutnya hingga turun temurun dimakamkan.
Selain di kampung Serangan, makam keramat juga dapat dijumpai di kampung Saren Jawa, Budakeling, Kampung Kusamba, dan Kampung Kepaon, Denpasar. Di Kampung Kepaon, makam yang dianggap keramat adalah makam Raden Ayu Siti Khodijah, yang bernama asli Ratu Ayu Anak Agung Rai (adik Raja Cokorda III dari Puri Pamecutan. Beliau dipersunting oleh Pangeran Sosrodiningrat yang berasal dari Jawa). Makam keramat itu menarik karena yang dimakamkan di sana adalah puteri Raja Puri Pamecutan, yang memeluk Islam setelah dinikahi Pangeran Sosrodiningrat. Tidak aneh jika kemudian makam tersebut dibangun dengan gaya arsitektur khas Bali dan banyak ornamen yang menggunakan hiasan Bali.
Makam itu sekaligus menjadi simpul ikatan historis antara warga kampung Islam Kepaon dengan Puri Pamecutan. Bahkan yang kini memelihara Makam Keramat Pamecutan adalah Bapak K.H.M. Ishaq, sesepuh atau tetua Kampung Islam Kepaon, yang juga menjadi tetua umat Islam Kepaon. Juru kunci makam diberi wewenang untuk mengawasi dan memelihara makam Keramat Pamecutan oleh kerabat Puri Pamecutan sampai sekarang.
Makam keramat lain yang menjadi simbol ikatan warga muslim di Bali dengan Puri adalah makam keramat Raden Mas Sepuh. Lokasi makam keramat ini berada di luar permukiman kampung Islam, yakni terletak di Pantai Seseh, Desa Munggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Raden Mas Sepuh adalah putra Raja Mengwi I. Sejak kecil, ia diasuh oleh ibunya, seorang muslimah asal Blambangan, Banyuwangi, Jawa Timur. Selain dikeramatkan oleh kaum muslimin, makam ini juga dihormati oleh umat Hindu. Bahkan, juru kuncinya adalah orang Hindu.
Majapahit Memelopori Fenomena kampung Islam di Bali ternyata sudah ada di Kerajaan Majapahit yang juga mayoritas menganut agama Hindu. Keberadaan komunitas muslim itu terlihat dari keberadaan makam Troloyo, Situs makam Troloyo terletak di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto Jawa Timur. Di makam tersebut terdapat beberapa makam kuna yang secara kronologis usianya lebih tua dibanding dengan makam para wali penyebar Islam di Jawa yang dikenal dengan sebutan Walisongo. Di situs tersebut terdapat sepuluh buah makam yang pada bagian nisannya terdapat inskripsi dengan aksara Jawa kuna dan inskripsi berhuruf serta berbahasa Arab. Dari inskripsi yang beraksara Jawa kuna menunjukkan angka tahun tertua, yaitu 1203 Caka atau 1281 Masehi. Sementara angka tahun termuda menunjuk pada angka tahun 1533 Caka atau 1611 Masehi. Kemudian dari inskripsi yangberhuruf dan berbahasa Arab merupakan kutipan dari kalimat thayyibah dan kutipan ayat-ayat Alquran. Berdasarkan inskripsi yang terdapat di kompleks makam Troloyo tersebut dapat diprediksi bahwa kehadiran masyarakat muslim di tengah Kerajaan Majapahit berkisar antara abad ke-13 dan abad ke-17 Masehi. (Majapahit, Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota, editor: Prof. Dr. Inajati Adrisijanti) |
Penulis | : | Agus Surono |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR