Intisari-Online.com - Indonesia, Amerika Serikat (AS), Jerman, Senegal, dan Belize mengumumkan akan menjadi tuan rumah bersama konferensi tingkat tinggi (KTT) Global Covid-19 kedua yang akan diadakan secara virtual pada 12 Mei 2022.
Menurut pernyataan pemerintah AS dalam siaran pers kedutaan besarnya di Jakarta, Rabu, kelima negara sepakat menjadi tuan rumah bersama KTT itu menurut perannya masing-masing.
Melansir Kompas.com, Rabu (20/4/2022), AS sebagai Ketua KTT Covid-19 pertama, Belize sebagai Ketua Komunitas Karibia (CARICOM), Jerman sebagai Presiden G7, Indonesia sebagai Presiden G20, dan Senegal sebagai Ketua Uni Afrika.
KTT itu bertujuan untuk menggandakan upaya bersama dunia dalam mengakhiri fase akut pandemi Covid-19 dan menyiapkan diri untuk menghadapi ancaman kesehatan di masa depan, sebagaimana dilansir Antara, Rabu (20/4/2022).
KTT itu merupakan kelanjutan KTT Global Covid-19 pertama yang diadakan oleh AS pada 22 September 2021.
Menjelang KTT kedua pada 12 Mei, kelima negara menyerukan kepada para pemimpin dunia, masyarakat madani, lembaga swadaya masyarakat, filantrop, dan sektor swasta untuk membuat komitmen baru.
Kemunculan dan penyebaran varian-varian baru virus corona, seperti Omicron, telah mempertegas kebutuhan strategi untuk mengendalikan Covid-19 di seluruh dunia.
Untuk itu, kelima negara mengajak dunia untuk bersama-sama memitigasi dampak Covid-19 dengan melindungi kelompok-kelompok warga yang paling berisiko dengan vaksinasi, melakukan tes dan perawatan, serta aksi-aksi untuk meminimalkan gangguan terhadap layanan kesehatan rutin.
Protes Kehadiran Rusia
Negara-negara Barat bersiap menggelar aksi walkout terkoordinasi dan penghinaan diplomatik lainnya untuk memprotes invasi Rusia ke Ukraina, pada pertemuan para menteri keuangan G20 Rabu (20/4/2022) di Washington, kata para pejabat mereka.
Beberapa negara Barat berpendapat bahwa tindakan Rusia ke tetangganya harus berarti membuatnya dikeluarkan dari semua pertemuan global.
Akan tetapi, hal tersebut bukan pandangan yang dimiliki oleh negara-negara lain di kelompok 20 ekonomi besar dunia, termasuk China dan Indonesia, yang memimpin kelompok itu tahun ini.
Moskwa mengonfirmasi pada Selasa (19/4/2022) bahwa Menteri Keuangan Anton Siluanov akan memimpin delegasi Rusia pada pembicaraan tersebut.
Langkah itu diambil meskipun ada protes berulang kali dari diplomat Barat, yang menilai Rusia dapat melanjutkan kerja sama seperti biasa, selama perang Rusia Ukraina masih berlangsung dan ribuan warga sipil tewas dalam pemboman.
"Selama dan setelah pertemuan kami pasti akan mengirimkan pesan yang kuat dan kami tidak akan sendirian dalam melakukannya," kata sumber Pemerintah Jerman, menuduh Rusia memulai konflik yang juga membuat harga pangan dan energi dunia melonjak.
Menteri Keuangan AS Janet Yellen berencana untuk menghindari sesi G20 yang diikuti oleh pejabat Rusia di sela-sela pertemuan Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.
Namun Yellen mengaku tetap akan menghadiri sesi pembukaan tentang perang Ukraina terlepas dari partisipasi Rusia, kata seorang pejabat Departemen Keuangan AS.
Menteri keuangan Inggris Rishi Sunak juga tidak akan menghadiri sesi G20 tertentu, kata sumber Pemerintah Inggris kepada Reuters.
Seorang pejabat kementerian keuangan Perancis sementara itu mengharapkan beberapa menteri dari negara-negara G7 untuk meninggalkan kursi mereka ketika rekan Rusia mereka akan berbicara.
Perpecahan di G20
Selain negara-negara G7 (Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Inggris, Perancis, Jerman dan Italia), G20 juga menggabungkan negara-negara berkembang termasuk China, India dan Brasil yang memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang bagaimana ekonomi global harus bekerja.
Invasi Rusia ke Ukraina, dan fakta bahwa beberapa negara G20 memilih untuk tidak mengikuti sanksi Barat terhadap Rusia, menjadi tantangan terbaru bagi upaya untuk membangun seperangkat aturan global untuk perdagangan dan keuangan kedepannya.
Amerika Serikat dan China telah lama bertukar tuduhan proteksionisme.
Sementara fakta bahwa perdagangan dunia tumbuh lebih lambat daripada ekonomi global secara keseluruhan telah menimbulkan pertanyaan tentang masa depan globalisasi.
Menjelang pertemuan G20, seorang pejabat tinggi IMF memperingatkan risiko ekonomi global yang terpecah-pecah.
"Satu skenario adalah di mana kita membagi blok yang tidak banyak berdagang satu sama lain, yang memiliki standar berbeda, dan itu akan menjadi bencana bagi ekonomi global," kata kepala ekonom IMF Pierre-Olivier Gourinchas kepada wartawan.
(*)