Meski Anggota Uni Eropa, Negara Ini Tegas Setuju untuk Bayar Gas Rusia dengan Rubel, Menentang Kesepakatan Anggota Lainnya

Tatik Ariyani

Penulis

Logo proyek pipa gas Nord Stream 2 Jerman dan Rusia
Logo proyek pipa gas Nord Stream 2 Jerman dan Rusia

Intisari-Online.com -Setelah invasi Rusia ke Ukraina, Barat menerapkan paket sanksi ekonomi kepada Rusia, yang kemudian segera dibalas oleh Kremlin.

Rusia serius menerapkan skema pembayaran gas menggunakan rubel.

Bahkan skema tersebut adalah prototipe yang akan diperluas Rusia ke produk ekspor lainnya pasca Barat menerapkan sanksi ke Rusia.

Sanksi yang diterapkan Barat membuat ekonomi Rusia menghadapi krisis paling parah sejak runtuhnya Uni Soviet pada 1991.

Merespons sanski itu, Rusia atas perintah Preside Vladimir Putin pada 23 Maret 2022 menerapkan pembayaran pakai mata uang rubel untuk ekspor gas mereka ke Uni Eropa.

Namun skema tersebut memungkinkan pembeli membayar dalam mata uang kontrak yang kemudian ditukarkan menjadi rubel oleh Gazprombank.

"Ini adalah prototipe sistem," kata juru bicara Kremlin Dmitry Peskov kepada televisi pemerintah Channel One Rusia tentang rubel untuk sistem pembayaran gas seperti dilansir Reuters.

"Saya tidak ragu bahwa itu akan diperluas ke kelompok barang baru," kata Peskov. Dia tidak memberikan kerangka waktu untuk langkah seperti itu.

Peskov mengatakan bahwa keputusan Barat untuk membekukan US$ 300 miliar dari cadangan bank sentral adalah "perampokan" yang akan mempercepat perpindahan dari ketergantungan pada dolar AS dan euro sebagai mata uang cadangan global.

Kremlin, katanya, menginginkan sistem baru untuk menggantikan kontur arsitektur keuangan Bretton Woods yang didirikan oleh kekuatan Barat pada tahun 1944.

"Jelas bahwa - bahkan jika ini merupakan prospek yang jauh - bahwa kita akan datang ke beberapa sistem baru - berbeda dari sistem Bretton Woods," kata Peskov. Sanksi Barat terhadap Rusia, katanya, telah "mempercepat erosi kepercayaan terhadap dolar dan euro."

Sementara itu, negara-negara Eropa berjanji untuk bersama-sama menolak permintaan Rsuai agar mereka membayar pasokan gas dalam rubel.

Namun,berbeda dengan satu negara ini.

Ialah Hungaria, yang merupakan anggota Uni Eropa, mengatakan bahwa pemerintahannya siap membayar gas Rusia dalam rubel.

Melansir Sputniknews, Kamis (7/4/2022), Perdana Menteri Hungaria Viktor Orban mengatakan kepada wartawan pada hari Rabu bahwa pemerintahnya siap untuk membayar gas Rusia dalam rubel jika Rusia memintanya.

Keputusan ini tentu melanggarkesepakatan dengananggota Uni Eropa lainnya yang terus merosot ke arah boikot gas Rusia gaya Amerika Serikat (AS).

Akhir bulan lalu, Uni Eropa mengumumkan akan bersama-sama membeli dan menyimpan gas, hidrogen dan gas alam cair ketika blok tersebut bergerak untuk mengurangi ketergantungannya pada produk minyak yang diimpor dari Rusia, yang merupakan 45% dari impor gas Eropa dan 25% dari impor minyaknya.

Namun, tagihan berikutnya pada transaksi gas yang ada akan jatuh tempo dalam hitungan minggu.

Langkah tersebut dilakukan Rusia di tengah tekanan besar dari Washington agar negara-negara di seluruh dunia untuk mengadopsi langkah-langkah yang sejalan dengan boikotAS terhadap produk minyak Rusia.

Langkah tersebut dianggap memicu lonjakan tajam harga bensin di AS yang mendorong inflasi di atas level yang sudah mencapai rekor tertinggi.

Menteri Luar Negeri Hungaria Peter Szijjarto telah menolak pendekatan UE, dengan mengatakan blok itu "tidak memiliki peran" untuk dimainkan dalam kesepakatan pasokan gasnya dengan Rusia, yang dinegosiasikan antara perusahaan gas milik negara Hungaria MVM dan Gazprom Rusia.

"Kami sama sekali tidak akan membiarkan siapa pun dengan rakyat Hungaria membayar harga perang, jadi kami tidak akan berkontribusi untuk memberikan sanksi pengiriman gas alam dan minyak bumi," kata Szijjarto dalam pernyataan 31 Maret.

Pada September 2021, Budapest dan Moskow menandatangani dua kontrak jangka panjang untuk pengiriman gas ke negara Eropa Tengah, memasok 4,5 miliar meter kubik bahan bakar per tahun selama 15 tahun, yang dikirim melalui jaringan pipa di Serbia dan Austria.

Awal pekan ini, Orban memenangkan masa jabatan empat tahun keempat berturut -turut, mengalahkan koalisi partai oposisi.

Baca Juga: Jadi Incaran Militer Rusia Ketika Perang ke Ukraina, Akhirnya Presiden Ukraina Buka Suara Ungkap Seluk Beluk Batalian Azov, Unit Militer Ukraina yang Dituduh Berbau Nazi

Artikel Terkait