Intisari-Online.com -Kamis (24/3/2022) pagi, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengaku ditelepon pihak Tesla yang menyampaikan keinginannya membangun pabrik baterai lithium di Indonesia.
Namun Luhut justru mengingatkan Tesla agar tidak lagi mendikte Pemerintah Indonesia karena Tesla juga sempat menyampaikan minatnya berinvestasi di Indonesia pada 2 tahun lalu.
"Tadi pagi, saya ditelepon dari Amerika. Tesla bilang, dia mau bikin built di rumah kita (Indonesia). Saya bilang begini 'Anda itu dua tahun lalu sudah telepon saya mau bikin lithium baterai. Anda buat semua, mau mendikte'," kata Luhut saat menutup Business Matching Belanja Produk Dalam Negeri yang disiarkan secara virtual.
Luhut juga menyampaikan bahwa sudah ada dua perusahaan produsen baterai kendaraan listrik yang saat ini bersedia memproduksi baterai lithium di Indonesia, yakni Contemporary Amperex Technology Co. Ltd. (CATL) dan LG Chem.
"Keduanya ini sudah meng-cover lebih dari 50 persen lithium baterai dunia," ujarnya.
Luhut mengatakan perusahaan China justru diizinkan membangun pabrik baterai lithium di Indonesia karena mereka menyetujui persyaratan yang diminta.
Bahkan kata Luhut, China tidak pernah mengajukan syarat-syarat untuk berinvestasi di Indonesia.
Oleh karena itu, Luhut meminta Tesla mengikuti syarat-syarat yang diinginkan oleh Pemerintah Indonesia jika ingin investasi di Indonesia.
"Tapi saya enggak mau kalau datang deal, jangan kau (Tesla) yang bikin syarat ke kami. Saya yang bikin syarat ke kamu, karena itu yang saya lakukan ke Tiongkok," ucap Luhut.
Bukan kali ini saja Indonesia tergoda investasi China saatberada dalam pembahasanproyek dengan pihak lain.
Dalam proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung, Indonesia tergoda dengan investasi China bahkan ketika Indonesia tengah membahas kerjasama dengan investor Jepang.
Hingga China memenangkan proyek kereta cepat tersebut dan terjadilah skandal.
Saat itu, China memenangkan persaingan dengan Jepang dalam pembangunan kereta cepat sepanjang 142,3 km tersebut.
Jepang mengajukan proposal dengan nilai 6,2 miliar dolar AS, sedangkan China mengajukan 5,5 miliar dollar AS.
Jepang menawarkan pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 0,1 persen.
Sementara China dengan tenor yang sama, menawarkan bunga pinjaman 2 persen.
Setidaknya, ada tiga alasan mengapa akhirnya pemerintah Indonesia memilih China ketimbang menggunakan teknologi Jepang yang sudah lebih dulu melakukan studi kelayakan dan menawarkan bunga utang jauh lebih rendah.
Yakni janji tanpa APBN, tanpa jaminan pemerintah, dan terbuka soal teknologi.
Polemik Kereta Cepat Jakarta Bandung sempat membuat hubungan Indonesia-Jepang merenggang.
Terlebih setelah Tokyo mengetahui kalau pemerintah Jokowi lalu berpaling ke China dalam proyek itu.
Dikutip dari pemberitaan Kompas.com 4 September 2015, Duta Besar Jepang untuk Indonesia saat itu, Yasuaki Tanizaki, sempat meluapkan kekecewaan dan penyesalan pemerintahnya kepada Indonesia.
"Saya telah menyatakan penyesalan saya karena dua alasan," kata Tanizaki memulai pembicaraan di hadapan wartawan yang mengerubunginya di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Pertama, pihak Jepang menyesal lantaran dana yang sudah dikucurkan untuk studi kelayakan high speed rail (HSR) rute Jakarta-Bandung sangat besar. Studi kelayakan HSR dikerjakan selama tiga tahun dan melibatkan pakar teknologi Jepang yang bermitra dengan Indonesia.
Kedua, Tanizaki menuturkan teknologi yang ditawarkan Jepang merupakan teknologi terbaik dan memiliki standar keamanan tinggi.
Kini, Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung terus menuai kritik.
Bahkan, kontroversi proyek ini sudah menyeruak sejak perencanaan di tahun 2015 silam.
Seperti diketahui, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung mengalami pembengkakan biaya dan gagal memenuhi target awal penyelesaiannya.
Pada awalnya, proyek ini diperhitungkan membutuhkan biaya Rp 86,5 triliun.
Kini biaya proyek menjadi Rp 114,24 triliun alias membengkak Rp 27,09 triliun, dana sebesar itu tentu tak sedikit.
Target penyelesaian pun molor dari tahun 2019 mundur ke tahun 2022.
Agar proyek tidak sampai mangkrak, pemerintah berencana menambal kekurangan dana dengan duit APBN melalui skema penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN yang terlibat di proyek tersebut.