Intisari-Online.com - Aurangzeb dari Dinasti Mughal India (3 November 1618–3 Maret 1707) adalah seorang pemimpin kejam.
Meski demikian pada masa pemerintahannya, dia terus menciptakan "zaman keemasan" peradaban India.
Orang-orang pada zamannya menggambarkan Aurangzeb sebagai orang yang disiplin, saleh, dan cerdas.
Melansir ToughtCo, Aurangzeb lahir pada 3 November 1618, putra ketiga Pangeran Khurram (yang akan menjadi Kaisar Shah Jahan) dan Putri Persia Arjumand Bano Begam.
Aurangzeb muda mempelajari tata negara dan taktik militer, Al-Qur'an, dan bahasa dalam persiapan untuk perannya di masa depan.
Aurangzeb yang berusia 15 tahun membuktikan keberaniannya pada tahun 1633.
Saat itu, seluruh istana Shah Jahan tengah menyaksikan gajah berkelahi dan salah satu gajah lepas kendali.
Semua orang berhamburan menyelamatkan diri, kecuali Aurangzeb, yangberlari ke depan dan menghadang pachyderm yang marah.
Tindakan bernainya ini mengangkat status Aurangzeb dalam keluarga.
Tahun berikutnya, remaja itu mendapat komando pasukan 10.000 kavaleri dan 4.000 infanteri. Dia pun segera dikirim untuk menumpas pemberontakan Bundela.
Ketika berusia 18 tahun, pangeran muda itu diangkat sebagai raja muda wilayah Deccan, di selatan jantung Mughal.
Ketika saudara perempuan Aurangzeb meninggal dalam kebakaran pada tahun 1644, dia tak segera bergegas kembai ke Agra namun baru tiga minggu kemudian dia kembali.
Shah Jahan sangat marah karena keterlambatannya sehingga dia mencopot Aurangzeb dari gelar raja muda Deccan.
Meski demikian, Shah Jahan membutuhkan semua putranya untuk menjalankan kerajaan besarnya, namun, pada tahun 1646 dia menunjuk Aurangzeb sebagai gubernur Gujarat.
Tahun berikutnya, Aurangzeb yang berusia 28 tahun juga menjabat sebagai gubernur Balkh (Afghanistan) dan Badakhshan (Tajikistan) di sisi utara kekaisaran yang rentan.
Meskipun Aurangzeb memiliki banyak keberhasilan dalam memperluas kekuasaan Mughal ke utara dan barat, pada tahun 1652 ia gagal merebut kota Kandahar, Afghanistan dari Safawi.
Baca Juga: Mengapa Banyak Terjadi Pemberontakan di Kerajaan Majapahit?
Ayahnya kembali memanggilnya ke ibu kota. Pada tahun yang sama, dia dikirim ke selatan untuk memerintah Deccan sekali lagi.
Pada akhir 1657, Shah Jahan jatuh sakit. Shah Jahan menyukai putra tertua Dara, tetapi banyak Muslim menganggapnya terlalu duniawi dan tidak religius.
Shuja, putra kedua, adalah seorang hedonis yang menggunakan posisinya sebagai gubernur Bengal sebagai sarana untuk mendapatkan wanita cantik dan anggur.
Aurangzeb, seorang Muslim yang jauh lebih berkomitmen daripada kakak laki-lakinya yang lain, melihat kesempatannya untuk mengumpulkan umat beriman di belakang panjinya sendiri.
Aurangzeb dengan licik merekrut adik laki-lakinya, Murad, meyakinkannya bahwa bersama-sama mereka dapat menyingkirkan Dara dan Shuja dan menempatkan Murad di atas takhta.
Kemudian pada tahun 1658 ketika pasukan gabungan Murad dan Aurangzeb bergerak ke utara menuju ibu kota, Shah Jahan memulihkan kesehatannya.
Ketiga adik laki-laki itu menolak untuk percaya bahwa Shah Jahan baik-baik saja, dan berkumpul di Agra, di mana mereka mengalahkan tentara Dara.
Dara melarikan diri ke utara tetapi dikhianati oleh seorang kepala suku Baluchi dan dibawa kembali ke Agra pada Juni 1659.
Aurangzeb mengeksekusinya karena murtad dari Islam dan menyerahkan kepalanya kepada ayah mereka.
Shuja juga melarikan diri ke Arakan (Burma) dan dieksekusi di sana.
Sementara itu, Aurangzeb mengeksekusi mantan sekutunya Murad atas tuduhan pembunuhan palsu pada tahun 1661.
Selain menyingkirkansemua saudara saingannya, Kaisar Mughal yang baru itu juga menempatkan ayahnya di bawah tahanan rumah di Benteng Agra.
Shah Jahan tinggal di sana selama delapan tahun, sampai 1666. Dia menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat tidur, menatap keluar jendela di Taj Mahal.
Pemerintahan Aurangzeb selama 48 tahun sering disebut-sebut sebagai "Zaman Keemasan" Kekaisaran Mughal, tetapi penuh dengan masalah dan pemberontakan.
Aurangzeb mempraktikkan versi Islam yang jauh lebih ortodoks, bahkan fundamentalis, dengan melarang musik dan pertunjukan lainnya pada tahun 1668.
Baik Muslim maupun Hindu dilarang menyanyi, memainkan alat musik, atau menari—penghambat serius terhadap tradisi kedua agama di India .
Aurangzeb juga memerintahkan penghancuran candi-candi Hindu, meski jumlah pastinya tidak diketahui. Perkiraan berkisar dari di bawah 100 hingga puluhan ribu. Selain itu, ia memerintahkan perbudakan misionaris Kristen.
Aurangzeb memperluas kekuasaan Mughal baik di utara maupun selatan, tetapi kampanye militernya yang terus-menerus dan intoleransi agama membuat banyak rakyatnya tersinggung.
Ia tidak segan-segan menyiksa dan membunuh tawanan perang, tawanan politik, dan siapapun yang ia anggap tidak islami.
Lebih buruk lagi, kekaisaran menjadi terlalu luas dan Aurangzeb mengenakan pajak yang lebih tinggi untuk membayar perangnya.
Tentara Mughal tidak pernah mampu sepenuhnya menumpas perlawanan Hindu di Deccan, dan Sikh di Punjab utara bangkit melawan Aurangzeb berulang kali sepanjang masa pemerintahannya.
Mungkin yang paling mengkhawatirkan bagi kaisar Mughal, dia sangat bergantung pada prajurit Rajput, yang pada saat itu menjadi tulang punggung pasukan selatannya dan beragama Hindu yang setia.
Meskipun mereka tidak senang dengan kebijakannya, mereka tidak meninggalkan Aurangzeb selama hidupnya, tetapi mereka memberontak terhadap putranya segera setelah kaisar meninggal.