Intisari-Online.com - Aksi Rusia terhadap Ukraina telah mendapatkan kecaman dari PBB.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mendesak Presiden Rusia Vladimir Putin untuk menghentikan perang dan membawa pasukannya kembali ke Rusia.
Guterres menuturkan bahwa tindakan sepihak Rusia bertentangan dengan Piagam PBB.
Menurutnya, aksi Rusia terhadap Ukraina juga merupakan pukulan mematikan bagi Perjanjian Minsk yang bertujuan memulihkan perdamaian di Ukraina timur.
Meski mendapat kecaman keras dari PBB, tampaknya Rusia bisa terus 'percaya diri' melancarkan serangannya terhadap Ukraina.
Rusia merupakan salah satu dari lima negara yang memiliki hak istimewa dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Hak istimewa yang dimaksud adalah hak veto yang dimiliki anggota tetap Dewan Keamanan PBB.
Anggota tetap Dewan Keamanan PBB lainnya yakni: Amerika Serikat, Inggris, China, dan Perancis.
Hak istimewa Rusia dalam PBB itulah salah satu dari 3 faktor yang menjadi 'senjata ampuh' Rusia untuk menyerbu Ukraina, selain nuklir dan faktor ekonomi-keuangan.
Hak veto merupakan hak untuk membatalkan keputusan yang dihasilkan Dewan Keamanan PBB.
Hak tersebut telah diterapkan di organisasi internasional sebelum PBB, yaitu Liga Bangsa-bangsa (LBB).
Di LBB, setiap anggota punya hak veto terhadap keputusan non-prosedural. Setiap keputusan yang dihasilkan pun harus disetujui seluruh anggota.
Tetapi, hak veto telah mendapatkan kritik dalam penerapannya.
Hal itu karena dalam perkembangannya, hak veto sering dipakai anggota tetap Dewan Keamanan PBB untuk melindungi kepentingannya sendiri, dan Rusia menjadi negara yang paling banyak menggunakannya.
Riset PBB menyebut, dari 1946 hingga Juli 2019, negara yang paling banyak menggunakan hak vetonya adalah Uni Soviet (Rusia) dengan 141 veto terhadap resolusi Dewan Keamanan.
Menyusul AS (83), Inggris (32), Perancis (18), dan China (14).
Jika Rusia kembali menggunakan hak istimewanya ini, artinya akan semakin memperpanjang catatannya.
Dalam 10 tahun terakhir, hak veto banyak digunakan dalam menyelesaikan konflik di Timur Tengah.
AS kerap memveto keputusan yang mendukung Palestina dan merugikan Israel.
Sementara pada 20 Desember 2019, Rusia dan China memveto bantuan kemanusiaan untuk Suriah lewat perbatasan Irak dan Turki.
Banyak negara lain berharap keistimewaan hak veto dihapus karena dinilai tidak demokratis.
Pasalnya, satu negara pemegang hak veto bisa mengacaukan kebijakan yang diputuskan Dewan Keamanan.
Kontroversi hak veto sebenarnya telah muncul sejak lama.
Seperti yang tercatat dalam Jurnal The American Political Science Review Volume 39 No 5 yang diterbitkan pada Oktober 1945, disebut bahwa hak veto sempat diperdebatkan dalam pembentukan PBB.
(*)