Intisari-Online.com – Benarkah Bukalapak bangkrut? Apakah karena marketplace ini masuk dalam ‘daftar hitam’ AS?
Sejumlah marketplace yang beroperasi di Indonesia tercatat dalam daftar pengawasan atau ‘Notorious Market List’ yang dikeluarkan oleh Departemen Perdagangan Amerika Serikat (AS).
Daftar tersebut berisikan perusahaan-perusahaan global yang diduga menjual barang palsu, tiruan, atau bajakan yang, notabene, melanggar hak cipta.
Notorious Market List 2021 adalah daftar terbaru yang dirilis oleh Departemen Perdagangan AS, terdapat 42 perusahaan online yang diduga terlibat atau memfasilitasi penjualan barang palsu.
Dari sekian puluh perusahaan dalam daftar tersebut, tiga di antaranya merupakan marketplace asal Indonesia, yaitu Bukalapak dan Tokopedia, serta e-commerce asal Singapura yang beroperasi di Indonesia, yakni Shopee.
Menurut Ekhel Chandra Wijaya, External Communications Senior Lead Tokopedia, pihaknya menindak tegas segala bentuk penyalahgunaan di Tokopedia sesuai dengan aturan penggunaan platform.
“Kami juga memiliki fitur Pelaporan Penyalahgunaan, di mana masyarakat dapat melaporkan produk yang melanggar, baik aturan penggunaan platform Tokopedia maupun hukum yang berlaku di Indonesia,” kata Ekhel, melansir kompas.com, Senin (21/2/2022).
Sedangkan Baskara Aditama, AVP Marketplace Quality Bukalapak, mengatakan pihaknya senantiasa berkomitmen untuk melindungi Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) dan melarang penjualan barang palsu dan bajakan di Bukalapak.
Meski menindak tegas segala penjualan barang ilegal, namun baik Bukalapak dan Tokopedia kompak tak menanggapi secara langsung soal keputusan pemerintah AS yang memasukkan nama mereka ke dalam Notorious Market List 2021.
Mengenai dugaan Bukalapak bangkrut, itu karena pada perdagangan saham e-commerce yang pertama melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (6/12/2021), saham PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) semakin tak berdaya.
Harga saham BUKA semakin menjauh dari harga saat initial public offering (IPO) di level Rp850 per saham.
Saham ini longsor 6,94 persen ke level Rp456 per saham dan terkena aut rejection bawah (ARB), yang berarti saham BUKA sudah melorot 46,35 dari harga IPO.
Jika ditarik secara historis, saham BUKA bahkan sudah terkoreksi sejak perdagangan 22 November 2021 secara berturut-turut alias tanpa terputus.
Padahal, kondisi keuangan BUKA mulai membaik, sembilan bulan pertama di tahun 2021, BUKA mampu mengurangi kerugian bersihnya menjadi Rp1,1 triliun, karena pada periode yang sama tahun sebelumnya, BUKA menanggung rugi hingga Rp1,4 triliun.
Sedang dari segi topline, pendapatan sejak awal tahun hingga akhir September 2021 mampu bertumbuh 42 persen yoy menjadi Rp1,3 triliun.
Sukarno Alatan, analis Kiwoom Sekuritas Indonesia mengatakan, meskipun BUKA berhasil menekan kerugiannya, namun kerugian yang ditanggung saat ini terbilang masih besar, yang berarti ada anggapan peluang BUKA untuk bisa mencetak laba di kemudian hari cukup sulit.
Persaingan di industri e-commerce sangat ketat, dan BUKA kalah pamor dibandingkan perusahaan marketplace lain, seperti Shopee dan Tokopedia.
Ini bisa dilihat dari jumlah pengguna atau hasil unduh (download) di Playstore, pengunduh Bukalapak masih di angka 50 jutaan pengguna, sementara pesaingnya seperti Shopee dan Tokopedia sudah di angka 100 juta unduhan.
“Artinya Bukalapak ini sedikit kurang diminati,” jelas Sukarno seperti dilansir Kontan.co.id, Senin (12/6/2021).
Secara teknikal, tren harga saham BUKA yang terus turun sebelum ada tanda atau sinyal reversal trend, maka penurunan saham bakal berlanjut.
Baca Juga: Bukalapak Terkena Isu PHK: Catat! Ini Bedanya Hak Pesangon Bagi Pekerja yang Resign dan di-PHK
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari