Intisari - Online.com -Marsekal (Purn) Chappy Hakim, Mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) menyebutkan jika saat ini ketegangan regional dan global tidak berada pada situasi dan kondisi yang menguntungkan untuk pasar pesawat tempur.
Hal ini ditambah para perancang pesawat tempur sudah berancang-ancang untuk mengalihkan keahlian mereka menciptakan pesawat tanpa awak, alias drone.
"Dalam lebih dua dekade terakhir kita sudah mengikuti bagaimana para perancang pesawat terbang tempur canggih sudah berada pada titik untuk menentukan apakah akan mengembangkan terus pesawat terbang tempur atau segera beralih pada wahana baru yang dikenal dengan nama populer drone," kata Chappy dalam diskusi virtual bertajuk "Menyongsong Pesawat Rafale" yang diinisiasi Pusat Studi Air Power Indonesia, Kamis (17/2/2022).
Chappy mengatakan tidak heran saat ini banyak pabrikan pesawat tempur yang mengobral produk mereka.
Sampai kemudian Indonesia memborong 42 jet Rafale produksi Dassault Aviation dari Perancis.
"Membeli barang bermerek di saat yang tepat yaitu ketika toko-toko memasang iklan atau berada di tengah musim sale," katanya.
Lebih lanjut Chappy menggarisbawahi bahwa keberadaan pesawat tempur merupakan salah satu subsistem dari sistem pertahanan udara yang menjadi bagian dari integral sistem pertahanan negara.
Dengan demikian, kata dia, proses pengadaan pesawat tempur pada hakikatnya sebuah upaya meningkatkan kemampuan sistem pertahanan udara nasional.
"Dalam hal ini unsur pesawat terbang tempur sekali lagi hanya merupakan salah satu saja dari sub-sub sistem pertahanan udara nasional lainnya," tegas dia.
Kondisi wilayah udara
Chappy juga menyoroti pembelian pesawat tempur baru dengan kondisi wilayah udara yang justru tidak dikuasai Indonesia.
Misalnya yang terjadi di wilayah udara Perairan Selat Malaka, Natuna, serta Kepulauan Riau.
Chappy menyebut wilayah udara beserta sistem pengendaliannya adalah komponen penentu dalam konsep pertahanan udara.
Di dalam konsep pertahanan udara itu, setidaknya terdapat dua subsistem yang sangat dominan, yakni wilayah udara dan pengendaliannya.
Akan tetapi, kata dia, Indonesia justru tidak menguasai dua subsistem ini di wilayah udara di Natuna, Perairan Selat Malaka, dan Kepulauan Riau.
Karena itu, ia menilai bahwa penyelesaian masalah wilayah udara tersebut saat ini justru lebih urgent dibanding mengakuisisi pesawat tempur baru.