Advertorial

Suku Jivaro di Amerika Selatan: Kepala Musuhnya Diciutkan Lalu Dijadikan Gantungan Penghias Rumah Sebagai Tanda Kemenangan

Moh. Habib Asyhad
K. Tatik Wardayati
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Suku Jivaro menjadikan kepala manusia musuhnya bergantungan dalam rumahnya, menjadi semacam piagam tanda kemenangan.
Suku Jivaro menjadikan kepala manusia musuhnya bergantungan dalam rumahnya, menjadi semacam piagam tanda kemenangan.

Intisari-Online.com – Di Amerika Selatan, terutama di Equador, nama Jivaro sering diasosiasikan dengan maut.

Jibaro atau Jivaro adalah nama dari sebuah suku Indian yang hidup di hutan-hutan belantara Equador Timur yang berbatasan dengan Columbia dan Peru serta pada saat ini merupakan suku bangsa yang paling gemar berperang.

Membunuh merupakan keharusan bagi mereka. ugaan bahwa peperangan dikobarkan karena peledakan penduduk atau penaklukan daerah baru seperti yang disangka penulis ternyata meleset sama sekali.

Orang-orang Jivaro yang diperkirakan berjumlah antara 22000 sampai 25000 jiwa ini berdiam dalam daerah seluas 40000 kilometer persegi. Jelas tempat bermukim yang jauh dari sempit, kalau tidak mau dikatakan luas.

Sikap bermusuhan yang ditunjukkan selama ini ternyata merupakan sub-kultur yang erat hubungannya dengan kepercayaan mereka.

Baca juga: Kisah Pasukan Kostrad Selamatkan Tim Ekspedisi Lorentz di Belantara Papua yang Masih Perawan

Memasuki daerah Jivaro, sama dengan tindakan bunuh diri! Demikian penjelasan seorang pejabat pemerintah Equador sewaktu kami, "Historical and Ethnographical Expedition on the Jivaros" dari University of California, Santa Barbara, melakukan persiapan terakhir sebelum menuju daerah hulu sungai Rio Bamba.

Sebelum berangkat kesembilan anggauta expedisi diharuskan mehandatangani surat pernyataan bahwa kami memasuki Equador Timur atas risiko sendiri dan pemerintah Equador tidak bertanggung jawab atas keselamatan jiwa kami.

Meskipun demikian, pada expedisi diikut sertakan empat orang pengawal bersenjata dari Guardia Civil, semacam polisi keamanan negara, yang akan menemani kami selama berada dalam zone berbahaya.

Perbekalan dan perlengkapan untuk dua bulan dipikul oleh lima orang Indian Arawak yang hanya bersedia membawanya sampai pos terdepan Guardia Civil. Dari sini, semuanya harus kami bawa sendiri.

Baca juga: Inilah Empat Pasukan Legendaris Dunia, Dengar Namanya Saja Musuh Lari

Expedisi yang dipimpin oleh Dr. M.W. Stirling, seorang antropolog dan ahli mengenai suku-suku Indian, dibiayai oleh P.B.B. dan bertujuan menyelidiki dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh pemerintah Equador dalam usahanya membudayakan suku Jivaro.

Keluarga

Orang-orang Jivaro tidak mengenai organisasi politik ataupun kekerabatan dan samasekali tidak suka hidup dalam perkampungan. Tiap keluarga tinggal dalam rumah tersendiri, terpisah beberapa mil dari yang lainnya.

Rumah-rumah mereka terbuat dari batang-batang kayu yang diplester dengan tanah liat dan lumpur. Kehidupan sehari-hari diisi dengan berburu, mengumpulkan umbi-umbian hutan dan sedikit bercocok tanam.

Itupun hanya terbatas pada jagung, yang bersama ubi diolah menjadi semacam roti.

Karena sifatnya yang saling bermusuhan maka satu keluarga dengan yang lain jarang sekali berhubungan, kecuali untuk berperang dan kalau ada perayaan-perayaan.

Baca juga: Inilah Pasukan Berani Mati Korea Utara, Tentara Khusus yang Diklaim Bisa Hancurkan Musuh dengan Mudah

Dalam waktu damai, sang ayah memegang kekuasaan mutlak dalam keluarga dan tidak bertanggung jawab pada siapapun juga. Tiap keluarga merupakan unit yang sangat kompak. Semua kegiatan selalu dikerjakan bersama-sama.

Kematian adalah pembunuhan

Dalam pandangan Jivaro, tidak ada apa yang kita namakan kematian wajar. Jikalau seseorang meninggal dunia, ini adalah karena perbuatah guna-guna musuhnya. Keluarganya wajib menyelidiki siapa penyebab kematian ini dan membalasnya.

Kalau kekuatan guna-guna tidak berhasil, maka jalan kekerasanpun jadilah. Semua daya upaya serta tenaga dikerahkan dan mereka tidak akan berhenti sebelum musuh dimusnahkan.

Kematian dan dendam kesumat, hanya inilah ikatan bathin di antara orang-orang Jivaro. Bagi mereka, kematian merupakan pembunuhan dan wajib dibalas dengan pembunuhan pula.

Acara balas dendam tidak hanya terbatas di antara mereka saja, tetapi juga dilakukan di luar lingkungannya.

Baca juga: NASA Persiapkan Robot Humanoid Valkyrie untuk Ekspedisi ke Mars

Kalau pembalasan dendam sulit dilakukan, karena musuh terlalu kuat, tetangga-tetangga terdekat dan yang dapat dipercaya diikut sertakan. Baru sekarang, dan hanya dalam keadaan yang demikian dipilih seorang pemimpin.

Biasanya yang tertua di antara mereka serta berpengalaman dalam segala urusan perang dan strateginya. Ini bisa dilihat dari banyaknya kepala manusia yang bergantungan dalam rumahnya.

Pimpinan atau panglima perang ini hanya dijabat selama operasi "serang dan bunuh" berlangsung.

Serang dan menghilang

Kesatuan atau kekompakan berperang merupakan unit dinamis yang sesungguhnya dari orang-orang Jivaro ini, terlepas dari unit statis keluarganya serta segala upacara-upacara kepercayaan yang mengelilinginya.

Baca juga: Apache dan Mi-35, Heli Tempur yang Biasanya jadi Musuh Bebuyutan Tapi di TNI AD Malah Jadi Sahabat Karib

Mereka berkumpul seminggu sebelum melakukan penyerangan dan sesudah itu, apabila kembali dengan kemenangan, untuk merayakan hal tersebut secara besar-besaran.

Penyerangan dilakukan menjelang subuh, secara mendadak dan mengakibatkan kehancuran total bagi musuh. Semuanya dibunuh, kecuali wanita-wanita muda dan anak-anak yang dianggap dapat berguna bagi keluarga.

Harta benda, biasanya tidak banyak, ternak dan tempat tinggal dimusnahkan. Begitu misi penghancuran selesai, mereka akan segera menghilang. Sebab kalau sampai dipergoki dan tertangkap oleh patroli Guardia Civil, maka paling sedikit hukuman kerja paksa sepuluh tahun menunggu mereka.

Di tempat kejadian hanya akan dijumpai puing-puing dan mayat-mayat tak berkepala. Betul, mayat tak berkepala! Karena obyek utama dari penyerangan adalah kepala musuh.

Adalah merupakan kebanggaan setiap kesatria Jivaro untuk kembali ke rumah dengan paling tidak sebuah kepala; lebih banyak, lebih- baik tentunya. Sebab akan makin naik martabatnya.

Baca juga: Baja Runcing, Senjata Mematikan pada Perang Dunia I yang Sanggup Mutilasi Musuh!

Kalau di kita seperti piagam penghargaan atau tanda jasa, kira-kira begitu.

Selama kaum laki-laki pergi berperang, para wanita berkumpul tiap malam dalam sebuah rumah, untuk melakukan upacara-upacara berupa pembacaan mantera-mantera yang diselingi dengan tarian-tarian.

Pada kesempatan ini, para penari melilitkan serangkaian kulit keong pada pinggang hingga menimbulkan bunyi yang sangat berisik. Tarian perang wanita-wanita Jivaro ini dipercayai akan melindungi suami, ayah dan putra-putra mereka dari senjata-senjata musuh serta melengahkan kewaspadaannya terhadap bahaya yang mengancam.

Tsantsa

Kepala musuh yang telah dipenggal, diawetkan dan diolah secara khusus sehingga menyusut sebesar kepalan tangan. Sampai saat ini, akhli-akhli kimia modern masih bingung memikirkan formula penyusutan yang hak patent-nya dimiliki oleh suku Jivaro.

Kepala manusia yang telah menyusut demikian dalam bahasa Jivaro disebut "tsantsa", dan pengolahannya bisa memakan waktu tiga sampai enam bulan. Sampai disini pengolahan secara phisik selesai, tinggal lagi mengolahnya secara mistik atau pengolahan religius.

Baca juga: Robert Edward Lee, Jenderal Perang Saudara AS yang Meskipun Kalah Perang Tapi Tetap Dihormati oleh Para Musuhnya

Orang Jivaro percaya bahwa jiwa orang yang telah dipenggal kepalanya ini, tetap berada dekat "tsantsa". Bila jiwa ini dapat dikuasai, maka ia akan merupakan kekuatan yang berguna bagi perkembangan keluarga, perburuan dan semua kegiatan yang dilakukan oleh pemiliknya.

Usaha untuk menguasai jiwa tadi dilakukan pada waktu "pesta kemenangan", dan ini dapat berlangsung berhari-hari.

Perayaan kemenangan

Setelah "tsantsa" betul-betul menyusut dan tidak dapat lebih kecil lagi, dibuatlah persiapan untuk merayakan kemenangan atas musuh, baik secara phisik maupun secara spirituil. Untuk ini semua orang diundang.

Mereka makan, minum dan menari sementara yang empunya hajat sibuk dengan segala jampi-jampi untuk menguasai jiwa "tsantsa"-nya. Sebagian besar dari perayaan ini terdiri dari tari menari dan pengucapan mantera-mantera.

Sangatlah sulit untuk menggambarkan secara keseluruhan dan mendetail jalannya perayaan. Dua upacara terpenting dicatatkan di sini yaitu; yang dilakukan untuk mendapatkan kemujuran dalam perburuan, dan satu lagi berhubungan dengan perkembangan keluarga.

Baca juga: Maunya Serbu Pasukan Belanda dari Kampung Terdekat, Pasukan Gerak Cepat Tjepat AURI Justru Mendarat di Atap Markas Musuh

Pada upacara pertama di atas semua perempuan dan laki-laki membuat lingkaran sambil berpegangan tangan, bergerak mengelilingi tiang utama di tengah rumah.

Mula-mula mereka bersiul nyaring untuk kemudian menyebut semua nama dari binatang-binatang yang paling mereka sukai dagingnya. Tiap nama diakhiri dengan teriakan, Hej!

Hej, hej, hej; Monyet hitam hej!; Yang abu-abu hej! Burung nuri hej! Yang buntutnya panjang hej! Babi hej! Yang gemuk hej!

Pengucapan mantera ini berlangsung kurang lebih sejam, dalam waktu mana para penari bergerak berganti-ganti ke kiri dan kanan. Setiap kali akan berganti, arah, kembali diperdengarkan siulan nyaring sambil berteriak "Tshi, tshi, tshi", sebagai penguat mantera.

Pada upacara kedua, jampi-jampi yang diucapkan berhubungan dengan perempuan dan kesuburannya.

Baca juga: Guantanamo, Penjara CIA di Kuba yang Penuh Horor dan Bikin Musuh Bebuyutan AS Tak Bisa Berkutik

Dan di tengah segala jampi dan upacara ini "tsantsa", saksi bisu yang pernah dapat berbicara, menyaksikan pasangan-pasangan yang satu persatu menghilang melakukan tugasnya untuk memperbanyak keturunan.

Pemerintah Equador telah berusaha untuk membasmi praktek-praktek ini dengan membudayakan mereka, setelah dikumpulkan di dalam "campo", desa-desa pemukiman.

Pekerjaan ini sudah kelihatan berhasil walaupun masih jauh dari memuaskan. Kebiasaan untuk tinggal berpencar-pencar dan lingkungan hidup orang-orang Jivaro, rimba belantara Mato-Grosso atau Neraka Hijau, sangatlah menyulitkan pengawasan dan pengumpulan mereka.

Bukan itu saja kesulitan yang dihadapi oleh aparat-aparat pemerintah Equador. Aksi pembudayaan ini memakan biaya sangat besar, dan Equador bukanlah negara yang dapat dikatakan kaya.

Beruntung bahwa PBB mulai menaruh perhatian sehingga dengan bantuannya, proses pembudayaan dapat dipercepat.

Selama praktek-praktek yang tak mengenal peri kemanusiaan ini masih tetap berlangsung, “tsantsa” akan tetap bertambah menghiasi tiang-tiang rumah suku Jivaro.

(Ditulis oleh Max I den Dekker, seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Mei 1977)

Baca juga: Reinhard Gehlen, Tokoh Intelijen Nazi yang Sukses Bergabung dengan CIA yang Awalnya adalah Musuh Besarnya

Artikel Terkait