Advertorial
Intisari-Online.com - Serangan rudal militer Sekutu (AS, Inggris, Perancis) ke Suriah pada Sabtu (14/4/2018) ternyata membuat Rusia, sebagai pendukung utama Suriah, tidak makin memusuhi AS, melainkan Inggris.
Pasalnya, sebelum serangan rudal ke Suriah, hubungan diplomatik antara Rusia dan Inggris memang sedang memanas setelah seorang bekas mata-mata Rusia, Sergei Skripal, yang tinggal di Salisbury, Inggris tewas karena diracun (4/3/2018).
Akibat tewasnya Skripal yang dibunuh dengan ‘gaya pembunuhan Perang Dingin’ dan diyakini oleh pemerintah Inggris dilakukan oleh para agen rahasia Rusia, Inggris atas perintah PM Theresa Mary, lalu mengusir 23 diplomat Rusia.
Reaksi Inggris yang dianggap oleh Rusia terlalu cepat dan ceroboh dalam membuat keputusan, telah membuat Presiden Rusia Vladimir Putin langsung naik pitam.
Pemerintah Rusia kemudian melakukan tindakan balasan dengan cara mengusir 23 diplomat Inggris sekaligus menolak tuduhan bahwa Rusia berada di balik pembunuhan Skripal.
Baca juga:Momen Penuh Emosional, Kisah Anjing Cacat yang Setia dan Menolong Gadis Berusia 3 Tahun
Rusia bahkan balik menuduh bahwa Skripal yang merupakan agen ganda, tewas diracun menggunakan gas saraf oleh para agen rahasia Inggris sendiri.
Rusia dan Inggris yang sama-sama marahnya kemudian malah terlibat saling tuduh dan membekukan kedutaan besar masing-masing.
Ketika militer Inggris ikut menyerang Suriah bersama pasukan AS dan Perancis, Rusia yang kembali naik pitam bahkan telah menuduh Inggris, berada di balik serangan senjata kimia itu.
Pasalnya Rusia menganggap Inggris telah ‘memindahkan’ kasus pembunuhan Skripal ke Suriah demi upaya pengalihan perhatian.
Akibatnya permusuhan antara Inggris dan Rusia pun berkembang makin serius dan menjadi seperti negara yang sudah saling siap untuk berperang.
Suasana siap berperang itu bahkan terjadi ketika kapal perang Inggris HMS St Albans berada pada kesiagaan tertinggi ketika sedang membayang-bayangi kapal perang Rusia, Yuraslov Mudry yang sedang melintas di Selat Inggris.
Saat itu (Jumat-20/4/2018) kapal perang Rusia yang sedang melintas hanya berada beberapa ratus meter dari garis pantai Inggris.
Sehingga HMS St Albans yang membayang-bayangi kapal perang Rusia juga berada jarak yang sangat dekat dan dalam kondisi semua persenjataan siap tembak.
Setelah insiden yang cukup menegangkan itu, kemarahan Presiden Putin atas Inggris rupanya makin tak terkendali.
Para mahasiswa Rusia yang sedang menempuh studi di Inggris telah diperintahkan oleh Putin untuk segera pulang (Minggu/22/4/2018) dan kemudian melanjutkan belajar di rusia atau bekerja di Siberia.
Putin memang sedang bertekad membangun perekonomian Rusia di Siberia setelah negara-negara Barat yang dimotori AS menerapkan embargo ekonomi.
Putin bertekad akan segera memperluas eksploatasi tambang minyak, emas, dan permata di Siberia.
Bahkan jika perlu pusat energi nuklir dan ‘perekonomian digital’ pun akan segera dibangun di Siberia.
Baca juga:Breaking News: AS, Prancis, dan Inggris Lancarkan Serangan ke Suriah