Advertorial

Demi Jadi Pilot Jempolan, Calon Pilot Tempur TNI AU Ternyata Diperlakukan Melebihi Anggota Keluarga oleh Instrukturnya

Agustinus Winardi
Moh. Habib Asyhad
Agustinus Winardi
,
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Intisari-Online.com -Para pilot TNI AU bisa menjadi seorang pilot yang mahir menerbangkan pesawat tempur dan transportasi melalui perjalanan yang panjang.

Pasalnya dari lulusan Akademi Angkatan Udara yang berjumlah 150 orang setiap tahunnya hanya sekitar 20-30 orang yang bisa menjadi pilot setelah melalui berbagai tes seleksi yang sangat ketat.

Bagi calon penerbang TNI AU yang sudah lulus seleksi mereka selanjutnya akan mendapatkan pendidikan di Sekolah Terbang (Sekbang/Air Force Flying School) ) yang berlokasi di Wing Pendidikan, Lanud Adisutjipto, Yogyakarta.

Setiap siswa ketika sudah menjalani pendidikan di Sekbang akan didampingi oleh seorang instruktur yang hubungannya bisa melebihi ‘anak dan bapak’.

Oleh karena itu lulus dan tidaknya seorang siswa Sekbang menjadi seorang penerbang sangat tergantung kepada para Instruktur Penerbang (IP) yang mendidik dengan cara yang ketat, keras, dan penuh disiplin.

Baca juga:Agar Tidak Mudah Tertembak Jatuh, Pilot Tempur pun Butuh Kaca Spion di Dalam Kokpit Jet Tempurnya

Tapi dengan sistem pendidikan yang demikian ketat itu hubungan antara seorang instruktur dan siswa Sekbang malah sangat akrab.

Namun instruktur Sekbang juga merupakan orang yang sangat istimewa bagi siswa Sekbang dan diperlakukan seperti ‘pangeran’.

Seperti layaknya seorang pangeran, para Instruktur Penerbang di lingkungan TNI AU akan dipanggil ‘Sir’ dan bukan ‘Pak’ oleh para muridnya.

Maka jawaban tegas seperti ‘Yes Sir’ dan bukan ‘Siap Pak’ sering terdengar di lingkungan Sekbang TNI AU.

Panggilan yang turun temurun ini seolah pengakuan dari murid kepada gurunya yang dapat mengajar terbang sekaligus dapat ‘mencabut nyawa’ alias mengandangkan (grounded) sang murid sewaktu-waktu.

Baca juga:Pilot Indonesia Ternyata Lebih Jago Menerbangkan Jet Tempur Sukhoi Dibanding Pilot Rusia

Sebuah kekuasaan yang dapat membuat ‘mati-hidupnya’ karier seorang siswa Sekbang kelak di kedinasan TNI AU.

Di mata siswa penerbang, sosok IP memang merupakan individu yang sempurna, cakap, dapat berbuat apa saja, dominan dan malah sebagian akan lebih dikenal callsign-nya dari pada nama aslinya.

Misalnya seorang instruktur bernama Kapten Agung ‘Sharky’ Sasongkojati , sebagai pilot tempur dan instruktur terbang akan lebih dikenal dengan panggilan callsign ‘Sharky’ dibandingkan nama aslinya.

Tapi sosok yang ‘menakutkan’ dan sekaligus berwibawa bagi para siswa Sekbang itu sebenarnya juga seorang manusia biasa.

Karena alasan tugas dan tanggung jawabnya lah maka para IP itu harus berbuat yang terbaik.

Baca juga:Ruang Udara Papua jadi Jalur Penerbangan Internasional, TNI AU Siagakan Skuadron Tempur

Mereka bahkan punya prinsip, lebih baik menyelamatkan nyawa siswa sejak dini daripada mencelakakan di kemudian hari.

Maka tidak mengehrankan jika sosok IP itu menpunyai ritme kehidupan yang unik, bahkan seolah mengabaikan keluarga dan keselamatan jiwanya dalam menyelesaikan tugas.

Pasalnya seorang IP akan ikut was-was, takut, galau dan cemas manakala siswanya terbang memasuki tahap terbang solo (sendirian), khususnya untuk yang pertama kalinya.

Andaikan sang siswa tidak bisa mendarat, hilang atau celaka, orang pertama yang harus bertanggung jawab adalah instrukturnya.

Dalam kehidupan nyata, IP mempunyai jadwal yang sangat ketat terkait penugasan.

Begitu ketatnya jadwal IP hingga timbul pertanyaan, kapan waktu untuk keluarga.

Apalagi jika siswa mulai menjalani terbang navigasi keluar kota yang kadang sampai dua minggu. Pasalnya seorang IP harus tetap mendampingi siswanya secara ketat dan disiplin.

Nmaun, yang pasti para IP akan merasa sangat berbahagia ketika semua siswa berhasil lulus dan menjadi penerbang-penerbang mumpuni TNI AU di kemudian harinya.

Artikel Terkait