Pembantaian itu dilakukan kepada orang-orang yang berusaha melawan atas kedatangan kembali pasukan Belanda.
Dalam Tragedi Patriot dan Pemberontak Kahar Muzakkar (2010), dijelaskan Belanda hendak mendirikan Negara Indonesia Timur (NIT) dengan Makassar sebagai ibu kotanya.
Maka pada akhir 1946, 120 orang dari pasukan khusus DST dan komandannya, Westerling, dikirim ke Makassar.
Mereka tiba dengan kapal pada 5 Desember 1946 dan ditugasi untuk menumpas orang-orang yang dianggap sebagai pemberontak.
Baca Juga: 3 Cara Jitu Menghilangkan Noda Kuning pada Dudukan Toilet di Rumah
Pemberontak itu merujuk pada kelompok nasionalis atau republikein, rakyat revolusioner yang mendukung kemerdekaan Republik Indonesia.
Melansir Kompas.com, Maarten Hidskes, putra Piet Hidskes, anggota DST, menuturkan kisah perang yang selama ini ditutupi ayahnya.
Ia menuliskan kekejaman Belanda dalam buku Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya: Korban Metode Westerling di Sulawesi Selatan 1946-1947 (2018).
Maarten menceritakan Westerling memulai operasinya pada 11 Desember 1946.
Sesampai di Makassar, ia membangun kamp di Mattoangin. Pagi pagi hari, dari kamp, mereka bergerak ke kampung Batua.
Warga dari kampung sekitar yakni Borong, Patunuang, Parang, dan Baray juga dibariskan di lapangan rumput.
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR