Seorang juara, menurut Rudy Hartono, tidak hanya dilahirkan. la perlu juga dibesarkan lingkungannya, sehingga akhirnya menjadi juara.
"Coba lihat saja Liem Swie King, atau Ardy Wiranata, Susi Susanti. Orang tua mereka sangat berperan mengembangkan bakat juaranya. Sedikit sekali rasanya juara lahir tanpa bimbingan orang tua. Peran orang tua sangat besar untuk bisa melahirkan pemain-pemain kelas dunia. Siapa lagi yang bisa mendorong anak seusia itu kalau bukan orang tua "sendiri?" ungkapnya.
Rudy juga ingat, dirinya pun dibimbing orang tua untuk menemukan jalan menjadi pemain bulu tangkis. Ia ingat, setiap hari hams bangun tidur pukul 05.00 saat ayahnya, Zulkarnain Kurniawan, menyuruhnya latihan fisik, lari-lari, main tali di sepanjang Jl. Kaliasin (kini Jl. Raya Basuki Rahmat) Surabaya.
"Kesiangan sedikit, jalanan sudah ramai. Tak bisa lagi latihan. Saya setengahnya dipaksa latihan., Di sekolah saya sering mengantuk. Bukan hanya karena harus bangun pagi setiap hari, akan, tetapi juga karena otot-otot badan sudah lelah," kata sang maestro mengenai masa silamnya.
"Ayah saya sangat keras. Walau pagi harus berlatih, pelajaran tak boleh ketinggalan. Kalau ada angka merah di rapor, saya dihukum," kata Rudy pula.
Sarana latihan, pada awal-awal karier Rudy, juga sangat tidak memadai. Ia berlatih di jalanan, di lapangan terbuka. Persisnya di depan kantor PLN Surabaya. Dulu disebut Jl. Gemblongan. Rudy berlatih di atas aspal yang kasar dengan batu-batuan yang menonjol di sana-sini. Umur sembilan tahun, Rudy sudah mulai mengangkat tiang berat untuk memasang net, kemudian memakainya bermain tepak-tepok.
Karena latihannya di luar, kalau matahari sudah terlampau tinggi, panas pun kelewat menyengat. Maka latihan hanya bisa dilakukan sampai sekitar pukul 10.00.
Waktu ikut PB (Persatuan Bulu Tangkis) Oke, yang didirikan ayahnya pada tahun 1951, Rudy ikut latihan di sebuah gudang kereta api (depo). Tepatnya di PJKA Karangmenjangan. Cukup jauh, bersepeda dari rumahnya di Jl. Kaliasin. Sehabis pulang sekolah, makan, Rudy terus berangkat. Tidak ada waktu untuk beristirahat tidur siang. Sekitar pukul 14.00 "latihan" pun dimulai.
Mempertahankan gelar juara
Salah satu kenangan yang melekat di hatinya adalah saat ia gagal di sebuah pertandingan yunior di Surabaya. Ketika itu, tutur Rudy, ia masih berumur sekitar 12 tahun.
"Saya kalah di babak kedua lawan pemain yang akhirnya tampil sebagai juara," tuturnya, "pulang ke rumah sepertinya membawa beban yang tidak keruan, sampai tidak sadar air mata saya mengalir. Entah kenapa, saya tidak pernah mau kalah. Kalau kalah, rasanya sakit bukan main."
Tahun berikutnya ia tak mau kalah lagi di, kejuaraan yang dilangsungkan di lapangan terbuka tersebut. Akhirnya ia berhasil tampil sebagai juara, mengalahkan pemain yang menurut banyak orang sama berbakatnya seperti dia, Yusri. Yusri sendiri, tidak-pernah menjadi pemain nasional. Ia akhirnya menjadi seorang dokter.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR