Ketika rakyat meminta sang "ayah" meneruskan jabatannya untuk periode ketiga, Ali menolak. "Bagi saya masa jabatan pejabat negara itu cukup dua term," alasannya. la menepis anggapan bahwa masa jabatannya tidak diperpanjang lantaran Golkar kalah di DKI pada Pemilu 1977. "Memang waktu itu saya pidato, intinya menyatakan bahwa 'saya ini bukan orang Golkar dan hanya bekerja untuk rakyat, bukan partai'. Saya ini pengabdi, bukan politikus," tegasnya.
Keterlibatannya dalam politik justru ditunjukkan kemudian dengan beroposisi terhadap pemerintahan Soeharto. Namun, tindakannya bersama puluhan politisi senior mendirikan Petisi 50 untuk mengkritik pemerintah berakibat pada hasil kerja susah payahnya. Kebijakan-kebijakannya banyak yang dihapuskan penggantinya, Tjokropranolo. Suatu keadaan yang disebut Ali sebagai de-Ali Sadikin-isasi. Padahal semasa menjadi gubernur, presiden sama sekali tidak pernah mencampuri urusan Pemda DKI.
Namun, Ali sampai saat ini mengaku tidak punya persoalan pribadi dengan Soeharto. April 2005 dalam acara HUT Taman Mini Indonesia Indah, untuk kesekian kalinya ia bertemu bekas penguasa Orde Baru itu. Mereka duduk berdampingan, malah berpelukan. "Soeharto itu mesti diadili, tapi kemudian kita maafkan. Kita bicarakan saja berapa uangnya yang mesti dikembalikan kepada negara," kata Ali tentang sikapnya sejak dulu.
Di usia senja, rasa geramnya justru masih disisakan kepada pengguna jalan di Jakarta yang semakin tidak tahu aturan lalu lintas. Semua orang merasa jadi pemilik jalan, sehingga bisa berbuat seenaknya. "Kalau saya masih gubernur, tiap hari kerjanya menempeleng sopir terus," katanya dengan kening berkerut. Semua itu, menurut dia, harus dihadapi dengan kekerasan, yaitu hukum yang tegas.
Jakarta yang bulan Juni ini berulang tahun memang menyisakan banyak persoalan. Sayangnya, tak semua gubernur seperti Bang Ali. •
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR