Intisari-Online.com -Beberapa waktu lalu, ditemukan kerangkeng manusia di rumah Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin usai dirinya terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK.
Di dalam rumah politikus Golkar itu terdapat dua kerangkeng serupa penjara.
Kerangkeng manusia itu terbuat dari tembok yang bagian depannya terbuat dari besi lengkap dengan gembok.
Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care) menduga kerangkeng itu digunakan sebagai penjara bagi para pekerja sawit yang bekerja di ladang Terbit Perangin-Angin.
"Kerangkeng penjara itu digunakan untuk menampung pekerja mereka setelah mereka bekerja. Dijadikan kerangkeng untuk para pekerja sawit di ladangnya," kata Ketua Migrant Care Anis Hidayah, Senin (24/1/2022).
Berdasarkan data yang dihimpun Migrant Care, ada 40 orang pekerja kebun sawit yang dipenjarakan dalam kerangkeng manusia tersebut.
Jumlah pekerja itu kemungkinan besar lebih banyak daripada yang saat ini telah dilaporkan.
Setelah temuan tersebut, Terbit Perangin-Angin menyatakan, kerangkeng manusia yang ada di rumahnya dipergunakan untuk merehabilitasi pelaku penyalahgunaan narkoba.
Namun, pengakuan itu dimentahkan oleh Badan Narkotika Nasional (BNN).
Kepala Biro Humas dan Protokol BNN Brigjen (Pol) Sulistyo Pudjo Hartono menyatakan, banyak persyaratan yang harus dipenuhi sebelum sebuah tempat rehabilitasi dapat terbentuk.
Ia mengatakan, persyaratan itu tidak sedikit. Misalnya persyaratan dalam aspek perizinan, lokasi, pemilik, serta pengelola tempat rehabilitasi itu.
Kerangkeng manusia di rumah Bupati nonaktif Langkat tidak memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
"BNN menyatakan bahwa tempat tersebut itu bukan tempat rehab," tegas Sulistyo saat dihubungi Kompas.com, Selasa (25/1/2022).
"Karena tempat rehab itu ada namanya persyaratan formil dan ada persyaratan materiil," lanjut dia.
Penemuan sel tersembunyi juga pernah terjadi pada tahun 2017 lalu di Filipina.
Saat itu, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Filipina, yang didampingi oleh sejumlah wartawan, telah menemukan sel kecil rahasia di sebuah kantor polisi Manila yang dijejali 12 pria dan wanita yang telah ditahan selama seminggu tanpa dikenai dakwaan.
Sel yang digunakan untuk menahan 12 orang itu sempit, gelap dan tanpa jendela. Pintu masuk ke ruangan itu ditutup dengan sebuah lemari kayu.
Gilbert Boisner, Direktur Komnas HAM Filipina di Manila, Jumat (28/4/2017), mengatakan, tidak ada satu orang pun yang sudah didakwa dalam kelompok yang "ditangkap dengan dalih narkoba" itu.
Human Rights Watch (HRW) mengatakan bahwa para tahanan itu diciduk "tanpa memberi tahu keluarga atau pengacara," dan dikurung dalam kondisi "mengerikan, terlalu padat," dan disiksa.
Para tahanan tersebut mengatakan bahwa polisi berusaha memeras mereka antara 800 dollar sampai 4.000 dollar (saat itu setara Rp10,6 juta hingga Rp53,3 juta) untuk kebebasan mereka.
Anggota Komnas HAM Filipina yang melakukan kunjungan mendadak ke kantor polisi itu mengatakan kepada Agence France Presse bahwa pada Kamis (26/4/2017) malam mereka mendengar teriakan "kami di sini, kami di sini" yang berasal dari balik tembok.
HRW mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa penemuan sel rahasia tersebut "tanda terbaru" bagaimana polisi mengeksploitasi kampanye antinarkoba Presiden Rodrigo Duterte untuk keuntungan pribadi.
Pihak kepolisian Jumat (28/4/2017) mengatakan, Kepala Polisi Distrik Tondo telah dibebaskan dari tugasnya dan penyelidikan sedang berlangsung.
HRW mengatakan, sejak Duterte mulai menjabat pada Juni 2016, polisi dan orang-orang bersenjata tak dikenal telah membunuh lebih dari 7.000 orang yang dicurigai sebagai pengguna dan pengedar narkoba.