Intisari-Online.com -Bupati nonaktif Langkat yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, Terbit Rencana Perangin-Angin, diduga melakukan kejahatan lain berupa perbudakan terhadap puluhan manusia.
Dugaan itu diungkap oleh Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat, Migrant Care, yang menerima laporan adanya kerangkeng manusia serupa penjara (dengan besi dan gembok) di dalam rumah bupati tersebut.
"Kerangkeng penjara itu digunakan untuk menampung pekerja mereka setelah mereka bekerja."
"Dijadikan kerangkeng untuk para pekerja sawit di ladangnya," ujar Ketua Migrant Care Anis Hidayah kepada wartawan, Senin (24/1/2022) sebagaimana diwartakan Kompas.com.
"Ada dua sel di dalam rumah Bupati yang digunakan untuk memenjarakan sebanyak 40 orang pekerja setelah mereka bekerja," tambahnya.
Anis menyebutkan, jumlah pekerja itu kemungkinan besar lebih banyak daripada yang saat ini telah dilaporkan.
Mereka disebut bekerja sedikitnya 10 jam setiap harinya.
Setelah dimasukkan ke kerangkeng selepas kerja, mereka tidak memiliki akses untuk ke mana-mana dan hanya diberi makan dua kali sehari secara tidak layak.
Terlepas dari itu, kasus perbudakan modern di Indonesia bukan kali pertamanya ini terjadi.
Dikutip dari Associated Press (AP) melalui Harian Kompas, Kamis (9/4/2015), ada indikasi terjadi perbudakan terhadap ABK Myanmar pada kapal-kapal yang dioperasikan PT Pusaka Benjina Resources.
Hampir 550 budak modern diselamatkan dari perdagangan ikan di Indonesia
Ratusan ABK menjadi korban perbudakan. Mereka di antaranya berasal dari Thailand, Laos, Kamboja, Myanmar.
Mereka dibawa ke Indonesia melalui Thailand dan dipaksa untuk menangkap ikan, seperti cumi-cumi, udang, kakap, kerapu dan ikan lainnya.
Hasil tangkapan mereka kemudian dikirim kembali ke Thailand, memasuki arus perdagangan global.
Laut Arafura menyediakan beberapa tempat penangkapan ikan terkaya dan paling beragam di dunia.
Penuh dengan makarel, tuna, cumi-cumi, dan banyak spesies lainnya.
Perlakuan tak manusiawi
Salah seorang ABK mengaku diperlakukan tak manusiawi, antara lain dipaksa bekerja 20-22 jam per hari, dikurung, dan disiksa.
Associated Press menurunkan laporan investigasi pada 25 Maret 2015.
Menurut para ABK atau para budak, para kapten di kapal penangkap ikan memaksa mereka untuk minum air yang tidak bersih.
Hampir semua mengatakan mereka ditendang, dicambuk dengan ekor ikan pari beracun atau dipukuli jika mereka mengeluh atau mencoba beristirahat.
Dalam kasus terburuk, banyak orang melaporkan cacat hingga kematian di atas kapal.
Mereka dibayar sedikit, bahkan ada yang tidak dibayar.
Agen perekrut para budak sangat kejam, mereka merekrut anak-anak dan orang cacat.
Bahkan rela berbohong tentang upah hingga membius dan menculik migran.
Para budak yang meninggal dimakamkan dengan nama Thailand palsu yang diberikan saat ditipu atau dijual ke pemilik kapal.
Kuburan itu menampung lebih dari 60 nisan yang tertutup rerumputan tinggi.
(*)