Dibongkar Media Asing, Nasib Tragis Orang Indonesia Bekerja di Kapal China Terungkap, Diperlakukan Bagai Budak Hingga Pilih Melarikan Diri Karena Tak Tahan dengan Perlakukan Kejamnya

Afif Khoirul M

Penulis

(Ilustrasi ) Kapal-kapal China mendadak muncul di wilayah perairan Jepang.

Intisari-online.com - Cerita soal ironisnya orang Indonesia yang bekerja di kapal nelayan China sebagai Anak Buah Kapal (ABK) memang sudah menjadi cerita lama.

Namun, belakangan ini cerita soal nasih ironis orang Indonesia sebagai ABK China kembali diungkap media Asing.

South China Morning Postmembagikan kisah yang dialami seorang awak Indonesia yang harus melompat ke Perairan Somalia untuk melarikn diri.

Setelah menghabiskan waktu di laut, ironisnya dia bertemu kapal nelayan China yang sama saat ia melarikan diri.

Baca Juga: Rudal Balistik China Jadi Mimpi Buruk bagi Militer Dunia, AS Sampai Kebut Lakukan Ini secara Besar-besaran

Menurut SCMP pria Indonesia tersebut bernama Brando Tewuh, ABK Indonesia berusia 29 tahun, melompat dari kapal nelayan China bersama tiga rekan senegaranya pada bulan Agustus.

Ini dianggap sebagai upaya putus asa oleh kelompok ABK ini untuk melarikan diri dari bahaya dan kondisi kehidupan yang buruk di atas kapal penangkap ikan China.

"Saya tidak akan pernah bekerja di kapal penangkap ikan lagi," kata Tewuh kepada SCMP setelah menceritakan perjalanannya yang mengerikan di atas kapal penangkap ikan China.

Menurut awak kapal berusia 29 tahun itu, dia pernah bekerja berbulan-bulan tanpa dibayar meski sudah menandatangani kontrak satu tahun untuk bekerja di kapal milik armada perikanan Liao Dong Yu.

Baca Juga: Ledakan Kasus Covid-19 Makin Ngeri, China Sampai Perintahkan Warga Stok Persediaan Kebutuhan Sehari-hari, Siap Lockdown Lagi?

Tewuh terkadang dipaksa bekerja 24 jam tanpa tidur dan dengan sedikit makanan.

Kecelakaan maut pertama yang diketahui Tewuh terjadi pada Juli 2020.

Saat itu, dia dan awak kapal nelayan China baru saja menyelesaikan shift 24 jam tanpa tidur.

Mereka sedang makan siang bersama ketika bel berbunyi, memaksa kelompok untuk berhenti makan untuk kembali ke geladak dan menarik jaring.

"Jaring ikan sangat berat karena ada pasir dan ikannya. Saat kami tarik, rantai putus dan jaring ikan jatuh menimpa seorang ABK China bernama Zhou Hsun Wei," kata Tewuh melalui telepon saat di rumah, Sulawesi Utara provinsi, Indonesia.

JenazahZhou dibuang ke laut. Lima jam kemudian, tubuh Zhou ditemukan di jaring kapal nelayan lain.

"Kenapa orang baik seperti Zhou harus mati dengan cara seperti itu," kata Tewuh dengan suara tercekat.

"Dia awak Cina yang sangat baik bagi kami orang Indonesia. Zhou sering berbagi makanan dan minuman dengan kami," katanya.

Menurut Tewuh, jasad Zhou awalnya disimpan di lemari es namun kemudian dibuang ke laut.

Baca Juga: Sesumbar Bantu Taiwan Kalahkan China, AS Terpukul Mundur Setelah Penyelidikan Temukan Objek Misterius Ini yang Hancurkan Kapal Selam AS Sampai Perlu Diperbaiki dalam Waktu Lama

Awak kapal Indonesia terkejut melihat bagaimana Zhou diperlakukan bahkan dalam kematian.

Tewuh mengatakan bahwa tubuh Zhou harus dikirim kembali ke kampung halamannya untuk mengurus akibatnya.

Pada tahun 2021, insiden serupa terjadi di kapal penangkap ikan lain dari armada Liao Dong Yu.

Kali ini, rantai penahan jaring putus dan menimpa dua awak kapal Indonesia.

Satu orang meninggal di kapal, yang lain jatuh ke laut, kehilangan tubuhnya.

"Setelah kejadian itu, saya dan rekan-rekan saya panik karena kami khawatir hal yang sama bisa terjadi pada kami," kata Tewuh.

Menurut ABK Indonesia, nahkoda kapal nelayan mereka adalah "orang jahat", selalu memukuli ABK, baik Tionghoa maupun Indonesia, hingga berdarah, padahal kesalahan mereka sangat kecil. .

Meski kontraknya berakhir pada Desember 2020, Tewuh masih harus tetap bekerja di kapal karena nakhoda menolak keinginannya untuk dipulangkan.

Tewuh menemukan bahwa dia tidak punya pilihan selain terus bekerja tanpa bayaran untuk mendapatkan makanan.

Baca Juga: Sok-sokan Nasehati Negara Maju untuk Perangi Perubahan Iklim, Xi Jinping 'Lupa' China Penyumbang Emisi Karbon Terbesar di Dunia, Tapi Tak Lakukan Upaya Apapun untuk Menguranginya

Namun pada Mei tahun ini, ABK asal Indonesia ini menolak bekerja.

Sekitar pertengahan Juni, Tewuh bisa menghubungi orang tuanya di telepon dan membicarakan kondisinya yang menyedihkan.

Dia juga memposting video tentang situasinya di Facebook pribadinya.

Video tersebut menarik perhatian Indonesia Fishing Watch (DFW), sebuah LSM Indonesia. Tapi belum ada hal luar biasa terjadi.

Pada tanggal 15 Agustus, Tewuh dan tiga rekannya memutuskan untuk melarikan diri dengan melompat dari perahu nelayan di malam hari.

"Kami tidak tahu di mana kami berada. Kami hanya tahu bahwa pantai itu masih jauh. Rombongan mencoba untuk tetap dekat satu sama lain, tetapi menghadapi ombak besar dan terpisah," kata Tewuh.

ABK berusia 29 tahun dan temannya Aji Proyogo mencoba berpegangan tangan saat mengapung di laut, namun hanya sesaat sebelum sebuah kapal nelayan melintas. Ironisnya, itu adalah perahu nelayan yang baru saja mereka tinggalkan.

"Kapal nelayan menemukan kami. Orang-orang di kapal melemparkan tali ke bawah untuk saya. Ketika saya sampai di tali, tangan saya terlepas dari Aji," kata Tewuh.

"Ombak besar menghanyutkannya dan kami tidak pernah menemukan Aji," Tewuh berbagi. Dua anggota kru lainnya kemudian ditemukan.

Baca Juga: AS Was-was Kesaing China, Meski Jet Tempur F-35 Lebih Unggul dari J-20 China, AS Bisa Tertinggal Jika Upgrade Blok IV Molor, Memangnya Kenapa?

Meski upaya melarikan diri tidak berhasil, Tewuh dan 11 WNI lainnya dipulangkan oleh pemilik kapal pada 28 Agustus setelah mendapat tekanan dari DFW, Environmental Justice, pemerintah Indonesia dan Somalia.

Setidaknya 35 orang Indonesia yang bekerja di kapal penangkap ikan asing meninggal antara November 2019 dan Maret 2021, kata Moh Abdi Suhufan, koordinator internasional DFW.

Sekitar 82% dari 35 orang ini bekerja di kapal penangkap ikan Tiongkok. kami

"Mereka meninggal karena berbagai sebab, antara lain karena sakit, kekerasan, penyiksaan, pemukulan, pembunuhan atau bekerja dalam kondisi buruk, kekurangan makanan dan minuman," kata Abdi.

"Semua faktor ini menunjukkan bahwa pelaut berada pada risiko tinggi penyalahgunaan dan eksploitasi tenaga kerja," tambahnya.

Menurut Abdi, banyak orang yang direkrut untuk bekerja di kapal penangkap ikan melalui calo ilegal, sehingga sulit melapor jika disalahgunakan.

Artikel Terkait