Dengan adanya perkawinan tersebut maka Marhum Panembahan (Sultan Banjar IV) mengatakan bahwa Dipati Sukadana tidak perlu lagi mengirim upeti setiap tahun seperti dahulu kala kepadanya karena sudah diberikan kepada cucunya Putri Gelang dan jika beranak sampai ke anak cucunya.
Puteri Gelang wafat setelah 40 hari melahirkan puteranya. Raden Saradewa pulang ke Sukadana, sedangkan bayi yang dilahirkan Putri Gelang kemudian tinggal dengan Pangeran Dipati Anta-Kasuma di Martapura kemudian dinamai Raden Buyut Kasuma Matan/Pangeran Putra (ayah Sultan Muhammad Zainuddin) oleh Marhumj Panembahan, yang merupakan salah satu dari tiga cicitnya yang diberi nama buyut, karena ketika itulah Marhum Panembahan pertama kali memiliki tiga orang cicit, yang dalam bahasa Banjar disebut buyut.
Pada abad le-18, Ratu Bagawan Muda, putera dari Pangeran Panghulu membangun sebuah dalem/keraton dengan mengikuti gaya Jawa.
Mangkubumi raja ini, Pangeran Prabu, mengepalai beberapa serangan yang berjaya ke negeri Matan dan Lawai atau Pinoh.
Dia menaklukkan sebagian besar wilayah itu hingga jatuh dalam kekuasaan pemerintahan Kotawaringin, tetapi kemudian negeri-negeri itu dapat lepas dari taklukkannya.
Baca Juga: Penemuan Tengkorak Manusia, Oleh Seorang Pemulung di Bali Hingga Kini Masih Menyisakan Misteri
Baca Juga: Tidak Perlu Jauh-jauh ke Kalimantan Bila Ingin Berbuka Puasa dengan Soto Banjar, di Jakarta pun Ada
Kotawaringin selalu menganggap sebagain besar negeri Pinoh sebagai jajahannya dan juga menuntut daerah Jelai.
Dia membantu Sultan Banjar, Sunan Batu dalam peperangan melawan Sultan Sambas.
Putera dari Ratu Bagawan Muda yaitu Ratu Anom Kasuma Yuda adalah raja Kotawaringin pertama yang membuat hubungan langsung dengan pemerintah Hindia Belanda.
Namun, dia meminta bantuan Hindia Belanda dalam peperangan melawan Matan dan untuk tujuan ini baginda telah menerima meriam, senapan dan peluru dari Batavia.
Ketika Sultan Banjar menyerahkan Kotawaringin dan kawasan lain kepada Hindia Belanda, maka Ratu Anom KAsumayuda juga menyerahkan takta kerajaan Kotawaringin kepada Pangeran Imanudin yang bergelar Pangeran Ratu.
Sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus 1945, Kobar merupakan satu wilayah Kesultanan Kotawaringin.
Ibu kota Kesultanan Kotawaringin semula yang berada di Kotawaringin Lama (hulu Sungai Lamandau).
Tanggal 14 Januari 1946 daerah Kotawaringin dijadikan daerah pendudukan Belanda dan selanjutnya dimasukkan dalam Dayak Besar.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR