“Merekrut” perempuan untuk rumah bordil sama dengan menculik atau memaksa mereka.
Wanita dikumpulkan di jalan-jalan wilayah pendudukan Jepang, mereka diiming-imingi pekerjaan.
Begitu mereka berada di rumah bordil, mereka dipaksa untuk berhubungan dengan penculiknya secara brutal dan tidak manusiawi.
Meskipun pengalaman setiap wanita berbeda, kesaksian mereka memiliki banyak kesamaan: pemerkosaan berulang semakin sering sebelum pertempuran, rasa sakit yang menyiksa, kehamilan, penyakit menular dan kondisi suram.
“Itu bukan tempat untuk manusia,” kata Lee kepada Deutsche Welle pada 2013.
Seperti wanita lain, dia diancam dan dipukuli oleh para penculiknya.
“Tidak ada istirahat,” kenang Maria Rosa Henson, seorang wanita Filipina yang dipaksa menjadi pelacur pada tahun 1943.
“Mereka berhubungan dengan saya setiap menit.”
Berakhirnya Perang Dunia II tidak mengakhiri rumah bordil militer di Jepang.
Pada tahun 2007, wartawan Associated Press mengungkap bahwa AS mengizinkan beroperasinya rumah bordil melewati akhir perang.
Tak hanya itu, puluhan ribu wanita di rumah bordil juga berhubungan badan dengan pria Amerika sampai Douglas MacArthur menutup sistem tersebut pada tahun 1946.
(*)
Penulis | : | Muflika Nur Fuaddah |
Editor | : | Muflika Nur Fuaddah |
KOMENTAR