“Itu sebabnya yang beken sekarang Pajajaran. Padahal yang betul Kerajaan Sunda. Itu kita harus berpegang pada sumber primer,” ujar Nina.
Sumber primer diyakini para sejarawan sebagai bukti autentik yang bisa menjadi referensi sebuah sejarah, yang juga bisa menjadi rujukan dari beragam perdebatan yang muncul dari proses interpretasi sejarah.
Nyatanya, kerajaan Sunda sendiri tidak lepas dari adanya perdebatan, salah satunya mengenai kepercayaan Prabu Siliwangi.
Menurut Nina, kepercayaan Sri Baduga Maharaja termaktub dalam Prasasti Batu Tulis yang didirikan Prabu Surawisesa, 12 tahun setelah kematian Sri Baduga Maharaja.
Dari prasasti tersebut dijelaskan bahwa Sri Baduga Maharaja, ayah dari Prabu Surawisesa, meninggal pada 1521, jenazahnya kemudian diperabukan, karena beragama Hindu.
Maka jelas bahwa Sri Baduga Maharaja meninggal dalam keadaan beragama Hindu, berdasarkan sumber primer tersebut.
Namun, bukti sekunder menerangkan bahwa Prabu Siliwangi beragama Islam.
Menjelang akhir usia Prabu Siliwangi, mulai banyak pendatang yang menetap di Tatar Sunda, mereka tidak hanya beragama Hindu, tetapi ada pula yang beragama Buddha dan Islam.
Beragamnya kebudayaan dan agama di Tatar Sunda tersebut membuktikan bahwa Kerajaan Sunda memiliki toleransi yang tinggi, bahkan penyebaran Islam sudah berlangsung sejak abad ke-14.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR