Intisari-Online.com - Peristiwa ini terjadi di akhir pemerintahan Presiden Soekarno, apa latar belakang dan dampak Tritura?
Tritura merupakan singkatan dari Tri Tuntutan Rakyat atau tiga tuntutan rakyat, yang disebut sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.
Tiga tuntutan itu dihasilkan oleh diskusi para mahasiswa, disepakati dalam pertemuan KAMI tanggal 9 Januari 1966.
Para perumus Tritura antara lain wakil KAMI Pusat yaitu, lsmid Hadad (Ikatan Pers Mahasiswa), Saverinus Suwardi (PMKRI) dan Nazaruddin Nasution (HMI).
Kemudian, Presidium Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) Pusat mengadakan rapat di sekretariatnya, di Jalan Sam Ratulangi No. I, dan memutuskan untuk menyelenggarakan demonstrasi secara besar-besaran pada 10 Januari 1966.
Terjadilah demonstrasi besar-besaran. Hari itu, di halaman Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia untuk pertama kalinya Tritura dikumandangkan.
Sementara di tempat-tempat strategis lainnya di Jakarta juga terjadi aksi.
Dua hari setelah demonstrasi, yaitu 12 Januari 1966, wakil mahasiswa diundang Presiden Soekarno di lstana Bogor untuk menghadiri sidang kabinet.
Baca Juga: Dibacakan Bung Karno, Ini Makna Proklamasi Kemerdekaan Bagi Bangsa Indonesia
Baca Juga: Inilah Makna Wawasan Nusantara untuk Kehidupan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Beberapa tuntutan mahasiswa dijawab dengan penurunan harga minyak sebesar 50 persen serta upaya untuk mencari jalan keluar untuk menurunkan harga barang secara keseluruhan.
Tetapi, kemudian presiden Soekarno merasa janjinya sulit direalisasikan dan menuduh gerakan mahasiswa dimanipulasi dan ditunggangi oleh kekuatan neokolonialisme dan imperialisme.
Mahasiswa pun kembali bergerak agar Tritura dipenuhi dan melakukan aksi sabotase pelantikan Kabinet Baru yang memaksa para calon menteri harus mencapai istana dengan menggunakan helikopter.
Adapun isi Tritura yang para mahasiswa kumandangan itu, di antaranya:
Bubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI)Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur yang terlibat G30STurunkan harga
Latar Belakang Tritura
Dalam Buku Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998 (2011) yang diterbitkan Kemenparekraf tertulis bahwa kondisi politik di Indonesia dari tahun 1960 sampai dengan 1965 diwarnai oleh konstelasi tiga kekuatan politik.
Tiga kekuatan besar yang berkembang pada saat itu berpusat pada Soekarno, ABRI (Angkatan Darat) dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketidakstabilan politik kemudian menyebabkan menurunnya kepercayaan rakyat kepada pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan.
Belum lagi kebijakan Presiden Soekarno yang membuat Indonesia dijauhi negara barat karena sikap anti neokolonialisme dan neoimperialisme menyebabkan posisi Indonesia semakin sulit.
Sikap itu membuat Indonesia akhirnya kehilangan dukungan internasional baik di bidang politik maupun ekonomi.
Puncaknya adalah pada malam gerakan 30 September (G30S).
Kemudian, ketidakstabilan politik pun berdampak pada kondisi ekonomi yang membuat rakyat merasa kesulitan.
Lahirlah Tritura sebagai tuntutan atas kondisi tersebut yang ditujukan kepada pemerintahan Presiden Soekarno.
Dampak Tritura
Pasca 12 Januari 1966, nyaris setiap hari aksi demonstrasi terus dilakukan.
Kinerja pemerintahan Soekarno pun terus dalam sorotan, termasuk terkait nasib PKI yang masih mengambang.
Tuntutan pembubaran yang tidak segera dipenuhi lama-kelamaan berubah menjadi desakan agar Bung Karno turun tahta.
Soekarno mulai was-was, sebab dirinya bisa saja dimakzulkan para demonstran.
Baca Juga: Tanggalan Jawa Januari 2022 Lengkap, Mulai Weton Pasaran hingga Wuku
Soekarno kemudian mengundang delegasi mahasiswa untuk hadir dalam Sidang Kabinet Dwikora pada 15 Januari 1966 di Istana Bogor.
Bukan hanya KAMI yang diundang dalam sidang itu, tapi juga Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) versi Partai Nasional Indonesia yang cenderung kiri dan dekat dengan Soekarno.
Hasil rapat kabinet ternyata tidak memuaskan para mahasiswa.
Sementara itu, perombakan kabinet kemudian diumumkan pada 21 Februari 1966 yang justru semakin memanaskan suasana. Pasalnya masih ada beberapa tokoh berhaluan kiri di dalam kabinet baru itu.
Unjuk rasa besar-besaran kembali meledak pasca keputusan itu.
Pada 24 Februari 1966, bentrokan terjadi antara demonstran melawan Resimen Cakrabirawa di depan Istana Negara yang menewaskan seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran UI, Arif Rahman Hakim karena tertembak.
Gugurnya Arif Rachman hakim membuat semangat mahasiswa semakin terbakar.
Unjuk rasa anti-PKI terus berlangsung dan membuat Soekarno semakin terjepit hingga akhirnya mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Supersemar.
Melalui surat perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) inilah yang menjadi awal bagi Soeharto mendapat wewenang untuk mengambil segala tindakan untuk menjamin keamanan, ketenangan dan stabilitas politik.
Pengaruh Soekarno sebagai presiden pun semakin melemah, sebaliknya, Soeharto justru kian kuat bak pahlawan penyelamat bangsa. Akhirnya Orde Lama benar-benar tumbang dan digantikan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto.
Surat Perintah 11 Maret 1966 ini juga kemudian dianggap sebagai awal muncul dan berkembangnya kekuasaan Orde Baru. Sementara Tritura disebut-sebut sebagai tonggak sejarah lahirnya Orde Baru.
Terlepas dari itu, Tritura menjadi catatan sejarah Indonesia bagaimana usaha para mahasiswa untuk memperbaiki kondisi politik dan memperjuangkan hak rakyat. Sehingga setiap 10 Januari diperingati sebagai Hari Tritura.
(*)