Hari berikutnya, prajurit Mataram mundur ke kemah mereka di pedalaman Batavia. Serangan Mataram pun gagal.
Bahkan, lantaran lawan memiliki cara bertahan yang tak biasa, prajurit Mataram pernah menjuluki Redoute Hollandia itu sebagai “Kota Tahi”.
Sersan Hans Madelijn tentu bangga atas prestasinya. Laporan kemenangan itu sampai juga ke Gubernur Jenderal di Kastel. Atas keberhasilan mengusir serangan Mataram, Madelijn menjadi pahlawan pada hari itu.
Kendati demikian, sebagai seorang serdadu asing, kenaikan pangkatnya tak begitu tinggi. Ia mendapatkan pangkat barunya sebagai letnan.
Namun, pangkat itu juga yang membawanya berjumpa dengan ajal. Madelijn terbunuh pada usia 34 tahun, ketika sedang meredam kerusuhan di Amboina pada 1639.
Babad Tanah Jawi, yang berisi kisah raja-raja Jawa, juga merekam pertempuran terkonyol dalam sejarah VOC itu.
Pada 1941, seorang sejarawan Belanda bernama W.L. Olthof telah menerjemahkan salah satu versi Babad Tanah Jawi. Dia menerjemahkan bundel Punika Serat Babad Tanah Jawi Wiwit Saking Nabi Adam Doemoegi ing Taoen 1647 ke dalam paparan prosa berbahasa Belanda.
Babad itu mengisahkan, “Orang Belanda bubuk mesiunya semakin menipis. Kotoran orang atau tinja dibuat obat mimis. Orang Jawa banyak yang muntah-muntah, sebab kena tinja...”
Selain itu, Thomas Stamford Raffles pun menceritakan perihal sebutan "Kota Tahi" dalam bukunya yang bertajuk History of Java Volume II halaman 168, terbit di London pada 1817.
"...Pada waktu itu, karena orang-orang Belanda dapat dipukul oleh keganasan orang-orang Jawa, mereka terpaksa menggunakan batu-batuan sebagai ganti bola-bola besi untuk amunisi meriam. Namun usaha tersebut menemui kegagalan," tulis Raffles.
"Sebagai usaha terakhir, mereka melemparkan kantong-kantong berisi kotoran yang berbau busuk sekali ke arah orang-orang Jawa, dan sejak saat itulah benteng itu dijuluki dengan nama Kota tai."
Itulah bagaimana kisah tentang ide 'gila' dari sosok Hans Madelijn dalam pertempuran pasukan VOC dan pasukan Mataram.
(*)
Penulis | : | Khaerunisa |
Editor | : | Khaerunisa |
KOMENTAR